Dinamika Umat Islam di Indonesia
Oleh: Vijay Asyfa Betay Seer
Umat Islam Indonesia penuh dengan dinamika. Ada yang dengan tegas
mengatakan harus kembali pada al-Qur’an dan Sunnah, tapi malah menelan
mentah-mentah begitu saja tanpa mencernanya, ibarat makan nasi, langsung telan
tanpa mengunyahnya telebih dahulu. Disisi lain, ada yang mengatakan bahwa dua
pilar dasar Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah, keduanya bersifat umum dan
berlaku hanya pada masing-masing waktu dan tempat, namun dirumuskan dengan teori-teori
yang kompleks, sampai-sampai terlewat batas tidak terkendali dan lupa akan
hakekat pokok untuk kembali pada al-Qur’an dan Sunnah. Ada juga yang mengatakan
bahwa al-Qur’an dan Sunnah adalah landasan dasar bagi umat Islam jika ingin
berislam secara sempurna. namun dengan memahami seenaknya saja tanpa landasan
berfikir yang jelas, sampai lupa mempertimbangkan mana yang wajib, sunnah,
makruh, mubah, subhat, dan haram. Ada juga yang sibuk memikirkan siapa musuh
Islam dan siap untuk menggempur musuh dengan niatan jihad dijalan Allah,
sampai-sampai lupa bahwa ada kekacauan didalam umat Islam yang harus
diselesaikan agar umat bisa bersatu, juga lupa bahwa didalam dirinya ada musuh
yang sangat kuat yang harus dikalahkan bernama hawa nafsu. Ada pula yang sibuk
berkata toleransi harus ditegakkan antar umat beragama namun disisi lain tidak
menghargai dan mentolerir perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam. lain
dengan diatas, ada pula umat Islam yang sibuk mencari kelemahan Muslim lainnya
karena berbeda pendapat, organisasi, dan perbedaan lainnya sehingga menyerang
satu sama lain, tanpa sadar ada musuh yang sedang mengintai. Perbedaan pendapat
adalah hal biasa dalam umat, yang luar biasa adalah menyatukan pendapat itu
atau paling tidak memaklumi dan menghargai pendapat yang berbeda dari dirinya.
Manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih jalan mana yang
akan ditempuh, serta perilaku apa yang ingin dikerjakan. Allah juga telah
memberi petunjuk bagi manusia untuk membedakan mana yang seharusnya dijalankan
dan mana yang seharusnya ditinggalkan. Kebebasan ini ada karena manusia
dibekali akal, hati dan hawa nafsu oleh Tuhan. Apakah bekal ini akan menjadi
senjata bagi manusia untuk menjadi manusia dan memanusiakan manusia atau malah
menjadi bumerang bagi manusia sehingga dia lupa bahwa dirinya adalah manusia. Memang
sangat wajar manusia melakukan kesalahan dalam hidupnya dan salah dalam
berpandangan terhadap sesuatu. Namun manusia adalah makhluk berakal serta
mempunyai hati yang setiap saat bisa saja berubah dan hijrah dari keburukan
menuju kebajikan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa manusia harus menjadi orang
yang pemaaf namun disisi lain ada beberapa manusia yang hatinya telah ditutup
oleh Allah dari menerima kebenaran. Mana yang benar? Atau mana jalan tengah
untuk keduanya? Manusia harus memikirkan apa yang akan dia lakukan dengan
akalnya dan bertanya pada hati nuraninya. Manusia tanpa wahyu sudah bisa
berlaku bijak hanya dengan bertanya kepada hatinya, dan hatinya pun sudah tahu
ada Tuhan yang menciptakan alam semesta ini. Peran wahyu selain menjadi pembeda
mana yang benar dan salah serta mana yang tepat dan tidak tepat, juga sebagai
petunjuk bagi manusia bagaimana caranya untuk sampai kepada Tuhan dengan selamat
dan cara untuk beriman, beribadah, dan menyembah dengan cara yang tepat untuk
dilakukan.
Manusia bukanlah Tuhan, Tuhan-pun bukanlah manusia. Dewasa ini,
terjadi keterbolak-balikkan mengerti peran masing-masing, kesalahan memahami
antara hak dan kewajiban bagi Tuhan dan manusia. Manusia yang mengatas namakan
Tuhan mengacungkan senjatanya serta menggunakan dan menghakimi manusia lain
seolah dia Tuhan, masuk neraka dan surga seseorang ada pada keputusan mereka
tanpa mengingat bahwa itu semua adalah hak prerogatif Tuhan bagi makhluknya.
Banyak yang salah dalam mengerti, memahami, serta mengingat apa yang menjadi
hak dan kewajiban bagi manusia atas Tuhan, serta hak dan ke-Iradat-an Tuhan
atas manusia. Manusia mempunyai hak kepada Tuhannya untuk meminta (berdo’a),
memohon, mengharap, meminta ampun serta lainnya kepada Allah dan berkewajiban
untuk beriman dan bertaqwa pada Allah. Sedangkan Allah mempunyai hak untuk
disembah dan di-imani oleh manusia serta akan mengabulkan do’a-do’a hamba-Nya
atas kehendak-Nya.
Umat Islam di Indonesia sedang dilanda kegalauan atas tercampurnya
Islam dengan politik yang melibatkan pada elit politik di Indonesia.
Ideologi-Ideologi Islam yang ekstrimis selalu disudutkan. Ulama-Ulama yang
menjadikan agama sebagai senjata dan tameng untuk berpolitik, serta alat untuk
mencari massa pendukungnya, seringkali dibuat pusing oleh jebakan yang dibuat
politisi demi “melengserkan” serta menyingirkan ulama yang demikian. Umat Islam
yang moderat untuk sementara ini aman dan nyaman saja. Tanpa harus risau
memikirkan politik yang sedang terjadi di Indonesia. Sebenarnya apakah
berpolitik memang harus dibedakan dengan agama atau memang politik bagi umat
Islam tidak bisa dipisahkan dengan agama? Lalu bagaimana seorang politisi
Muslim dapat terhindar dari dosa jika ingin sebanding dengan politisi lain yang
banyak melakukan kelicikian dan kekejian serta kata munafik dan khianat adalah
kata yang sering didengar sehari-hari.
No comments:
Post a Comment