Powered By Blogger

Translate

Total Pageviews

Friday, December 16, 2016

Review Buku: Pesan-Pesan Al-Qur’an Djohan Effendi

Nama            : Vijay Asyfa Betay Seer
NIM              : 15530004 (kelas B)
Review Buku: Pesan-Pesan Al-Qur’an
(Mencoba  Mengerti Intisari Kitab Suci)
Penulis          : Djohan Effendi
Penerbit        : Serambi
Tahun            : 2012
ISBN                        : 978-979-024-327-9
Buku ini ditulis oleh Djohan Effendi yang berisi tentang kandungan al-Qur’an serta penafsiran al-Qur’an dari perspektif penulis sendiri. Buku ini bisa dikatakan sebagai buku “tafsir mini” di mana penjelasan tentang ayat atau surat adalah hasil dari pemahaman penulis berdasarkan ilmu dan pengalaman yang dimiliki. Buku ini memiliki kelemahan yaitu tidak menjelaskan ayat al-Qur’an secara spesifik dan rinci melainkan hanya bagian-bagian yang diambil dan dipahami secara umum dari surat yang ada dalam al-Qur’an. Kekurangan lain adalah buku ini dibuat oleh orang dengan basic pendidikan syari’ah dan bukan secara khusus mendalami tafsir sehingga metode yang digunakan samar, walaupun terindikasi bahwa penulis menggunakan metode analitis-tematis.
Namun, hal yang perlu diapresiasi adalah penulis dengan balutan bahasa yang mudah dipahami menyampaikan makna dan pesan dalam setiap surat dari al-Qur’an yang dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam kajian penafsiran. Hal mengagumkan lain adalah penulis memetakan isi al-Qur’an dari awal sampai akhir menjadi 3 yaitu pembuka, isi, penutup. Bagian isi terbagi menjadi 11, masing-masing berisi surat yang -menurut penulis- se-tema, dengan pemetaan al-Qur’an secara garis besar, sangat memudahkan bagi pembaca untuk memahami pesan dalam al-Qur’an. Lalu dipetakan lagi masing-masing tema besar menjadi pembahasan per-surat, dan setiap surat dibuat menjadi beberapa bab dari segi munasabah ayat dan bukan dijelaskan per-ayat.
Buku ini dapat dijadikan sebagai batu loncatan bagi para “pencari hidayah” melalui al-Qur’an, dengan penulis yang berpengalaman pernah menjadi kepala badan Litang Depag tahun 1998-2000. Buku ini menyadarkan para pembaca bahwa al-Qur’an secara hakekat adalah kitab hidayah dan harus dikembalikan pada fungsi asalnya yaitu memberi petunjuk bagi siapa saja yang membaca dan mencerna isi dari al-Qur’an. Dengan menyingkirkan perdebatan yang sering terjadi dikalangan mufassir dari aspek perbedaan metodologi kompleks yang terkadang membuat mufassir “terlena” akan fungsi dasar al-Qur’an sendiri yaitu sebagai kitab hidayah.

Resensi Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an karya: Dr. H. Abdul Mustaqim

Review: MADZAHIBUT TAFSIR 
Resensi buku “Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an” karya: Dr. H. Abdul Mustaqim. Judul kecilnya adalah “studi aliran-aliran dari periode klasik, pertengahan, hingga modern-kontemporer” 
Edisi revisi 

21x14.5 cm
hlm xiv + 212
ISBN: 978-602-868-641-9
Cetakan 2012
Penerbit: ponpes LSQ kerja sama dengan penerbit Adab Press
Penulis: Dr. H. Abdul Mustaqim

     Buku ini menjelaskan perjalanan sejarah ilmu tafsir dan penafsiran al-Qur’an sejak zaman Nabi SAW sampai zaman sekarang ini, gejolak yang terjadi dikalangan Ulama dalam menafsirkan al-Qur’an hingga karya-karya yang dihasilkan dari tokoh-tokoh pada masa sahabat, tabi’in, atba’ tabi’in, hingga tokoh modern-kontemporer. Dalam buku ini, penulis menggunakan bahasa komunikatif-atraktif, gaya bahasa yang mudah dipahami, dan penjelasan yang rinci. Penulis menjabarkan poin-poin secara eksplisit, dimulai dengan poin besar yang kemudian dijabarkan menjadi poin-poin kecil yang bersifat rinci dan jelas. Sayangnya, pada bagian IV saat menjelaskan madzab tafsir era formatif, tidak dibuat sub bab-sub bab terkait ragam madzhab tafsir, seperti tafsir gender, tafsir hermeneutik, dan sebagainya, namun dalam bagian ini hanya dimuat dalam satu sub bab yaitu pada perkenalan era formatif, dan pada penjelasan “sumber, metode, dan validitas penafsiran” pada poin F bagian IV hal 168-187. 
     Dalam buku ini dijelaskan bagaimana sejarah tafsir secara menyeluruh, sehingga mudah dipahami dan menjadi jelas bagaimana sejarah tafsir dimulai. Di jelaskan berdasarkan episteme dan paradigma yang mendasari masing-masing periode. Penulis buku ini (bapak Mustaqim) mengklasifikasikan sejarah tafsir secara periodesasi yaitu dari era klasik (I-II H) yang kemudian penulis membahasakan menjadi era formatif-klasik, lalu era pertengahan (III-VIII H) kemudian penulis bahasakan menjadi era afirmatif, dan era modern kontemporer (IX H- sekarang) menjadi era reformatif. Pengklasifikasian ini berbeda dengan pengklasifikasian yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher dan Muhammad Husein Adz-Dzahabi. Kemudian penulis secara kritis mengkritik klasifikasi sejarah tafsir yang dipaparkan oleh Ignaz Goldziher, J. J. G Jansen, Adz-Dzahabi, dan Amina Wadud. Walaupun yang beliau lontarkan hanya sebatas masukan yang singkat. 
    Penjelasan terhadap masalah yang dihadapi dari masa sahabat hingga sekarang, yang paling menonjol adalah pada masa afirmatif, dimana terjadi pergolakan yang sangat hebat antar mufassir karena adanya sektarian dan terjadinya politik teologi. Adapun pada masa modern-kontemporer timbul masalah yang lebih kompleks, yaitu digunakannya metode-metode dalam menafsirkan al-Qur’an yang berasal dari Barat. Masuknya metode Barat dalam penafsiran al-Qur’an seperti hermeneutik, semantik, semiotik dan teori antropologi, sos-hum modern, dan sains modern yang dilakukan oleh Muhammad Syahrur saat mengenalkan gagasan term qira’ah mu’ashiroh, lantas menimbulkan kontroversi sekaligus warna baru dalam memahami al-Qur’an. 
     Pada hal 54 dalam penjelasan jenis -tafsir Nabi- pada poin “bayan li tamtsili”, yaitu indikasi penulis sependapat dengan pendapat kedua mengenai -Nabi tidak menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan- dalam narasi berikut “ lebih lanjut bahwa faktanya banyak ayat-ayat yang belum sempat dijelaskan oleh Nabi dan itu merupakan tugas bagi generasi berikutnya untuk menjelaskannya”. Menurut saya, argumentasi yang dinyatakan, dibangun dari premis yang kurang akurat, karena dengan alasan tafsir belum sempurna (dari nabi) dan statement yang dihasilkan adalah “hikmah yang bisa diambil adalah agar generasi berikutnya bisa mengkaji al-Qur’an dengan giat”. Padahal menurut saya, pernyataan bahwa ketidak-lengkapan tafsir Nabi atas al-Qur’an tidak bisa dijadikan alasan untuk mengkaji al-Qur’an, sedangkan wajibnya mempelajari tafsir adalah karena al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan, maka perlu adanya kontekstualisasi. Saya lebih setuju dengan pendapat pertama bahwa Nabi telah menafsirkan seluruh al-Qur’an yang memang perlu penafsiran, hanya saja riwayat mengenai tafsir Nabi tidak seluruhnya sampai kepada kita, maka ini adalah masalah riwayat, bukan masalah Nabi belum sempat menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan. Nabi sudah menafsirkan seluruh al-Qur’an yang memang perlu ditafsirkan pada masa itu, namun untuk masa sekarang, adanya perkembangan zaman dan munculnya masalah baru, maka penafsiran Nabi ada yang tidak sesuai pada zaman sekarang dan ada ayat yang pada zaman itu tidak ditafsirkan oleh Nabi karena memang tidak perlu, namun zaman sekarang perlu ditafsirkan, jadi bukan Nabi belum menafsirkan semuanya, tapi konteks pada saat itu memang cukup dengan tafsir Nabi yang sekarang dianggap kurang, pada masa itu sudah sempurna penjelasan mengenai al-Qur’an. Dalam hal ini, harus ada kejelasan apa yang dimaksud Nabi belum selesai atau belum menafsirkan al-Qur’an seluruhnya agar tidak ada kesalah-pahaman yang bisa memicu keluarnya pendapat bahwa Nabi melakukan kesalahan fatal karena tidak menafsirkan al-Qur’an seluruhnya. Padahal bukan Nabi yang tidak menafsirkan seluruhnya, namun konteks zaman yang selalu berubah dan berkembang.