Powered By Blogger

Translate

Total Pageviews

Friday, December 16, 2016

Resensi Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an karya: Dr. H. Abdul Mustaqim

Review: MADZAHIBUT TAFSIR 
Resensi buku “Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an” karya: Dr. H. Abdul Mustaqim. Judul kecilnya adalah “studi aliran-aliran dari periode klasik, pertengahan, hingga modern-kontemporer” 
Edisi revisi 

21x14.5 cm
hlm xiv + 212
ISBN: 978-602-868-641-9
Cetakan 2012
Penerbit: ponpes LSQ kerja sama dengan penerbit Adab Press
Penulis: Dr. H. Abdul Mustaqim

     Buku ini menjelaskan perjalanan sejarah ilmu tafsir dan penafsiran al-Qur’an sejak zaman Nabi SAW sampai zaman sekarang ini, gejolak yang terjadi dikalangan Ulama dalam menafsirkan al-Qur’an hingga karya-karya yang dihasilkan dari tokoh-tokoh pada masa sahabat, tabi’in, atba’ tabi’in, hingga tokoh modern-kontemporer. Dalam buku ini, penulis menggunakan bahasa komunikatif-atraktif, gaya bahasa yang mudah dipahami, dan penjelasan yang rinci. Penulis menjabarkan poin-poin secara eksplisit, dimulai dengan poin besar yang kemudian dijabarkan menjadi poin-poin kecil yang bersifat rinci dan jelas. Sayangnya, pada bagian IV saat menjelaskan madzab tafsir era formatif, tidak dibuat sub bab-sub bab terkait ragam madzhab tafsir, seperti tafsir gender, tafsir hermeneutik, dan sebagainya, namun dalam bagian ini hanya dimuat dalam satu sub bab yaitu pada perkenalan era formatif, dan pada penjelasan “sumber, metode, dan validitas penafsiran” pada poin F bagian IV hal 168-187. 
     Dalam buku ini dijelaskan bagaimana sejarah tafsir secara menyeluruh, sehingga mudah dipahami dan menjadi jelas bagaimana sejarah tafsir dimulai. Di jelaskan berdasarkan episteme dan paradigma yang mendasari masing-masing periode. Penulis buku ini (bapak Mustaqim) mengklasifikasikan sejarah tafsir secara periodesasi yaitu dari era klasik (I-II H) yang kemudian penulis membahasakan menjadi era formatif-klasik, lalu era pertengahan (III-VIII H) kemudian penulis bahasakan menjadi era afirmatif, dan era modern kontemporer (IX H- sekarang) menjadi era reformatif. Pengklasifikasian ini berbeda dengan pengklasifikasian yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher dan Muhammad Husein Adz-Dzahabi. Kemudian penulis secara kritis mengkritik klasifikasi sejarah tafsir yang dipaparkan oleh Ignaz Goldziher, J. J. G Jansen, Adz-Dzahabi, dan Amina Wadud. Walaupun yang beliau lontarkan hanya sebatas masukan yang singkat. 
    Penjelasan terhadap masalah yang dihadapi dari masa sahabat hingga sekarang, yang paling menonjol adalah pada masa afirmatif, dimana terjadi pergolakan yang sangat hebat antar mufassir karena adanya sektarian dan terjadinya politik teologi. Adapun pada masa modern-kontemporer timbul masalah yang lebih kompleks, yaitu digunakannya metode-metode dalam menafsirkan al-Qur’an yang berasal dari Barat. Masuknya metode Barat dalam penafsiran al-Qur’an seperti hermeneutik, semantik, semiotik dan teori antropologi, sos-hum modern, dan sains modern yang dilakukan oleh Muhammad Syahrur saat mengenalkan gagasan term qira’ah mu’ashiroh, lantas menimbulkan kontroversi sekaligus warna baru dalam memahami al-Qur’an. 
     Pada hal 54 dalam penjelasan jenis -tafsir Nabi- pada poin “bayan li tamtsili”, yaitu indikasi penulis sependapat dengan pendapat kedua mengenai -Nabi tidak menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan- dalam narasi berikut “ lebih lanjut bahwa faktanya banyak ayat-ayat yang belum sempat dijelaskan oleh Nabi dan itu merupakan tugas bagi generasi berikutnya untuk menjelaskannya”. Menurut saya, argumentasi yang dinyatakan, dibangun dari premis yang kurang akurat, karena dengan alasan tafsir belum sempurna (dari nabi) dan statement yang dihasilkan adalah “hikmah yang bisa diambil adalah agar generasi berikutnya bisa mengkaji al-Qur’an dengan giat”. Padahal menurut saya, pernyataan bahwa ketidak-lengkapan tafsir Nabi atas al-Qur’an tidak bisa dijadikan alasan untuk mengkaji al-Qur’an, sedangkan wajibnya mempelajari tafsir adalah karena al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan, maka perlu adanya kontekstualisasi. Saya lebih setuju dengan pendapat pertama bahwa Nabi telah menafsirkan seluruh al-Qur’an yang memang perlu penafsiran, hanya saja riwayat mengenai tafsir Nabi tidak seluruhnya sampai kepada kita, maka ini adalah masalah riwayat, bukan masalah Nabi belum sempat menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan. Nabi sudah menafsirkan seluruh al-Qur’an yang memang perlu ditafsirkan pada masa itu, namun untuk masa sekarang, adanya perkembangan zaman dan munculnya masalah baru, maka penafsiran Nabi ada yang tidak sesuai pada zaman sekarang dan ada ayat yang pada zaman itu tidak ditafsirkan oleh Nabi karena memang tidak perlu, namun zaman sekarang perlu ditafsirkan, jadi bukan Nabi belum menafsirkan semuanya, tapi konteks pada saat itu memang cukup dengan tafsir Nabi yang sekarang dianggap kurang, pada masa itu sudah sempurna penjelasan mengenai al-Qur’an. Dalam hal ini, harus ada kejelasan apa yang dimaksud Nabi belum selesai atau belum menafsirkan al-Qur’an seluruhnya agar tidak ada kesalah-pahaman yang bisa memicu keluarnya pendapat bahwa Nabi melakukan kesalahan fatal karena tidak menafsirkan al-Qur’an seluruhnya. Padahal bukan Nabi yang tidak menafsirkan seluruhnya, namun konteks zaman yang selalu berubah dan berkembang.

No comments:

Post a Comment