HADIS SOSIAL (Etika Makan dan Minum)
Hadis tentang Larangan Makan dan Minum Sambil Berdiri
Oleh: Vijay Asyfa Betay Seer (15530004)
Abstrak
Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an bagi umat Islam.
hadis yang dapat dipakai adalah hadis yang shahih sanad dan matannya. Terdapat
banyak metode dalam memahami hadis terutama hadis yang kontradiktif. Hadis
tentang larangan makan dan minum sambil berdiri menjadi kontroversi bagi
kalangan ‘ulama karena bertentangan dengan hadis yang menyatakan Rosul pernah
melakukannya. Indonesia adalah negara dengan sebagian besar budaya dan normanya
diadopsi dari Timur. Makan dan minum sambil duduk adalah salah satu norma yang
diajarkan turun temurun bagi masyarakat Indonesia. Mulai pudarnya kesadaran
akan norma bangsanya sendiri dan muncul kebiasaan baru bagi masyarakat yaitu
makan dan minum sambil berdiri. Tidak hanya dari segi hadisnya yang
kontradiktif, namun dari segi kesehatan ternyata terdapat perbedaan pendapat
tentang sehat atau tidaknya minum sambil berdiri. Ada yang mengatakan bahwa
makan dan minum sambil berdiri dapat menimbulkan berbagai penyakit, dan adapula
yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh sama sekali dari segi kesehatan makan
dan minum sambil berdiri maupun sambil duduk. Kajian hadis kontradiktif
mengenai larangan makan dan minum akan sangat menarik dan penting jika dikaji
secara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Kajian kontekstualisasi dari
perspektif kesehatan dan etika masyarakat Indonesia dapat menjadi pertimbangan
untuk memahami metode apakah yang paling tepat untuk diterapkan. Metode Jam’u
adalah metode yang paling tepat untuk diterapkan dalam kajian kontekstualisasi
hadis. Dengan metode tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa larangan makan dan
minum sambil berdiri adalah makruh. Hanya norma sosial yang dapat menuntut
bahwa makan dan minum sambil berdiri dinilai kurang sopan bagi masyarakat
Indonesia.
Kata kunci: makan minum sambil berdiri, hadis kontradiktif,
kesehatan, etika.
A. Latar Belakang
Nabi Muhammad
adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan mengajarkan akhlak yang baik pula
pada pengikutnya. Secara tidak langsung, seiring tersebarnya Islam sampai ke
Indonesia, ajaran-ajaran yang Rosul sampaikan kepada umat Muslim terserap dan
membudaya bagi masyarakat Indonesia, sehingga menjadi norma bagi bangsa secara
tidak tertulis.. Masyarakat Indonesia memiliki tingkat etika dan estetika
tinggi yang terserap dalam norma-norma yang berlaku di masyarakat. Salah
satunya adalah etika terhadap makan dan minum. Secara tidak tertulis, norma
yang diajarkan dari orang tua adalah makan dan minum harus pakai tangan kanan,
ketika makan tidak boleh sambil bicara, serta tidak etis bagi masyarakat Indonesia
untuk makan dan minum sambil berdiri, melainkan dilakukan sambil duduk. Namun
seiring berjalannya waktu, globalisasi, dan tingkat kesadaran dari masyarakat
yang rendah mengantarkan pada lunturnya norma yang terdapat pada elemen
masyarakat.
Dalam hadis, terdapat larangan minum dan makan sambil berdiri,
walaupun pada hadis yang lain, Rosul pernah minum sambil berdiri dalam kondisi
tertentu. Adanya teks hadis dan nilai etis yang tertanam dalam masyarakat, maka
sudah sepantasnya kita sadar akan masalah yang dihadapi dalam masyarakat atas
sifat acuh yang dialami masyarakat terhadap norma yang tertanam dalam diri
masyarakat. Akan menjadi menarik apabila teks hadis yang mukhtalif tentang
boleh tidaknya makan dan minum sambil berdiri dikaji secara kontekstual baik
dari perpektif kedokteran maupun perpektif etika yang berlaku, serta bagaimana
kualitas hadisnya. Dengan ini, penulis akan mengkaji masalah “etika makan dan
minum, hadis tentang larangan makan dan minum sambil berdiri”. Kajian ini
ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah hadis sosial dan memberikan
kesadaran akan pentingnya mengamalkan sunnah Rosul serta pentingnya memperhatikan
etika yang berlaku dalam lapisan masyarakat.
Dari uraian diatas, permasalahan tentang larangan makan dan minum
sambil berdiri dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
kajian hadis dari segi sanad dan matan? Bagaimana kualitas hadisnya baik yang
melarang dan yang membolehkan?
2.
Bagaimana
konteks hadis dan kontekstualisasi hadis jika dilihat dari perspektif kesehatan
dan perspektif etika masyarakat Indonesia.
B.
Pembahasan
1.
Teks
Hadis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا. فَقِيلَ:
الْأَكْلُ, قَالَ:
ذَاكَ أَشَدُّ.
Artinya:
Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Ibnu Abi Adi menceritakan kepada
kami, dari Sa'id bin Abu ‘Arubah, dari Qatadah, dari Anas, ia mengatakan: “Sesungguhnya
Nabi SAW melarang seseorang minum sambil berdiri”. Ditanyakan (kepada
Rasulullah), "(Bagaimana dengan) makan?" Rasulullah menjawab, "Itu
lebih (buruk) lagi". (HR. Tirmidzi no. 1879)[1]
2.
Kritik
Sanad
Jika sanad hadis diatas dibuat skema maka sebagai berikut:
Nabi
Muhammad SAW
Anas
Qotadah
Sa’id
bin Abi ‘Arubah
Ibn
Abi ‘Adi
Muhammad
bin Basyar
Tirmidzi
a.
Anas
(w. 93)[2]
Nama lengkap : Anas bin
Malik bin Nadhr bin Dhomdhom bin Zaid bin Harom
Nama masyhur : Anas bin
Malik al-Anshori
Nama laqob : Dzul Udzunain
Tahun wafat : 93 H
Jarh wa Ta’dil :
1.
Abu
Hatim ar-Rozi : Anas adalah
pelayan Rosulullah
2.
Abu
Hatim bin Hibban : Anas adalah
pelayan Rosul
3.
Dzahabi : Anas adalah Shahabat
Nama Guru : Rosul Saw, Ibn Mas’ud adz-Dzahabi, Qois bin
‘Abdul ‘Uzza, Robi’ah bin Waqos, Yazid bin Tsabit al-Anshori, Ummu Salamah
(istri Rosul), dll.
Nama Murid : Qotadah bin Da’amah, Qois bin Abi Hazim,
‘Umar bin Syakir al-Bashori, Marwan al-Waroq, Muhammad bin al-Aqtho’, Hasan bin
Tamim, dll.
b.
Qotadah
(w. 117)[3]
Nama lengkap : Qotadah
bin Da’amah bin Qotadah bin ‘Aziz bin ‘Amr bin Robi’ah
Nama masyhur : Qotadah bin
Da’amah as-Sadusi
Nama kunyah : Abu
al-Khattab
Tahun lahir : 61 H
Tahun wafat : 117 H
Jarh wa Ta’dil:
1.
Daruquthni : Tsiqot
2.
Yahya
bin Mu’in : Tsiqot
3.
Ahmad
bin Syu’aib an-Nasa’i : Tsiqot
tsubut dan al-Hafidz
Nama Guru : Anas bin Malik al-Anshori, Ishaq bin
‘Abdullah al-Hasyimi, Hasan bin ‘Abdullah al-‘Aroni, Qosim bin Robi’ah
al-Ghotofani, Jarir bin ‘Abdullah, dll.
Nama Murid : Sa’id
bin Abi ‘Arubah, ‘Imron bin Yazid al-Qotthon, ‘Imron bin Muslim, Sufyan
bin Husain, Salam bin Muskin, Sufyan bin Habib al-Bisri, dll.
c.
Sa’id
bin Abi ‘Arubah (156 H)[4]
Nama lengkap : Sa’id bin
Mahron
Nama
masyhur : Sa’id bin Abi
‘Arubah al-‘Aduwi
Nama
laqob : Ibn Abi ‘Arubah
Nama kunyah : Abu an-Nadzhor
Tahun
wafat : 156 H
Jarh
wa Ta’dil :
1.
Ahmad
bin Syu’aib an-Nasa’i : Tsiqot
2.
Ahmad
bin ‘Abdullah al-‘Ijli : Tsiqot
3.
Daruquthni : Tsiqot
Nama Guru : Qotadah
bin Da’amah as-Sadusi, Ayyub bin Musa al-Qurosy, Ibrohim bin ‘Abdur
Rahman, Sa’id bin Haml, dll.
Nama Murid : Ibn
Abi ‘Adi, Ahmad bin Hanbal asy-Syibyani, Ibrohim bin Shodaqoh al-Bisri,
Wahid bin Khalid, Hamam bin Yahya al-‘Udzi, dll.
d.
Ibn
Abi ‘Adi (w. 194 H)[5]
Nama
lengkap : Muhammad bin
Ibrohim bin Abi ‘Adi
Nama
masyhur : Muhammad bin
Ibrohim as-Salami
Nama
laqob : Ibn Abi ‘Adi
Nama kunyah : Abu ‘Amr
Tahun
wafat : 194 H
Jarh
wa Ta’dil :
1.
Ahmad
bin Syu’aib an-Nasa’i : Tsiqot
2.
Adz-Dzahabi : Tsiqot
3.
Abu
Hatim ar-Rozi :
Tsiqot
Nama Guru : Sa’id bin
Mahron, Ibrohim bin Sa’ad az-Zuhri, Isma’il bin Mu’in al-Makki, Yahya bin
Sa’id al-Qotthon, Yazid bin Qois al-Azdi, dll.
Nama Murid : Muhammad
bin Basyar, Ahmad bin Hanbal Asy-Syibyani, Ahmad bin Tsabit, ‘Ali bin
Madini, ‘Amr bin ‘Ali al-Falasi, dll.
Nama
lengkap : Muhammad bin Basyar bin
‘Utsman bin Dawud bin Kisan
Nama
masyhur : Muhammad bin
Basyar al-‘Abdi
Nama
laqob : Bindar
Nama kunyah : Abu Bakar
Tahun lahir : 167 H
Tahun
wafat : 252 H
Jarh
wa Ta’dil :
1.
Ahmad
bin ‘Abdullah al-‘Ijli :
Tsiqot
2.
Ibn
Hajar al-‘Atsqolani :
Tsiqot
3.
‘Abdur
Rouf al-Manawi : Tsiqot
Nama Guru : Muhammad bin
Ibrohim as-Salami, Sahl bin Hummad, Sa’id bin ‘Amir, Abu Dawud
ath-Thiyalusi, Abu Dawud as-Sujastani, Sahl bin Yusuf, dll.
Nama Murid : Tirmidzi,
Husein bin Mas’ud, Ibrohim bin ‘Abdullah az-Zabibi, Muhammad bin Ahmad
al-Bisri, dll.
f.
Tirmidzi
(w. 279 H)[7]
Nama
lengkap : Muhammad bin ‘Isa
Nama
masyhur : Muhammad bin ‘Isa
at-Tirmidzi
Nama
laqob : Abu Isa[8]
Tahun
lahir : 209 H
Tahun
wafat : 279 H
Jarh
wa Ta’dil :
1.
Abu
Hatim Muhammad ibn Hibban : Tsiqot
2.
Abu
Ya’la al-Khalili :
Tsiqot
3.
Abu
Sa’d al Idrisi :
Tsiqot
Nama Guru : Muhammad
bin Basyar, Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Rahuyah, Al Hasan bin Ahmad
bin Abi Syu’aib, Abi ‘Ammar Al Husain bin Harits, Imam Bukhari, Imam Muslim,
Abu Dawud, dll.
Nama Murid : Abu Bakr
Ahmad bin Isma’il As Samarqandi, Abu Hamid Abdullah bin Daud Al Marwazi, Ahmad
bin ‘Ali bin Hasnuyah al Muqri`, Ahmad bin Yusuf An Nasafi, Ahmad bin Hamduyah
an Nasafi, Al Husain bin Yusuf Al Farabri, Hammad bin Syair Al Warraq, Daud bin
Nashr bin Suhail Al Bazdawi, Ar Rabi’ bin Hayyan Al Bahili, dll.
Dari kajian sanad di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis ini
memenuhi syarat keshahihan sanad. Semua syarat keshahihan sanad telah
terpenuhi. Syarat-syarat keshahihan sanad ialah ittishal al-sanad
(ketersambungan sanad), tsiqqahu al-ruwah (para perawinya kredibel), dhabtu
al-ruwah (intelektualitas perawi), Semua
rijal yang terlibat dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai
guru-murid. Kredibilitas maupun intelektualitas perawi
memiliki tingkatan yang Tsiqoh. Tidak ada seorang perawi pun yang berstatus dhaif.
Tidak ada cela ('illat) pada para rijal tersebut.
3.
Kritik
matan
Setelah
diketahui sanad hadis diatas shahih, maka kritik matan perlu dilakukan untuk
bisa mengetahui tujuan sebenarnya dari sebuah hadis dengan langkah awal adalah
takhrij hadis. Setelah dilakukan takhrij hadis melalui software
Mausu’ah al-Hadis, pemakalah menemukan dua variasi konten matan, yaitu
ada hadis yang menjelaskan larangan minum sambil berdiri dan hadis yang membolehkannya,
berikut beberapa hadis tersebut:
A.
Hadis
yang melarang minum sambil berdiri selain hadis diatas, sebagai berikut:
1.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
حَدَّثَنَا
هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنْ الشُّرْبِ
قَائِمًا.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid; Telah menceritakan kepada
kami Hammam; Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas bahwa Nabi
Shallallahu A'laihi Wa Sallam melarang minum ketika berdiri. (diriwayatkan oleh
Muslim no. 3771, Sunan Tirmidzi no. 1800, Sunan Abu Dawud no. 3229, Sunan Ibnu
Majah 3414 dan Musnad Ahmad no.11740.).
2.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri
حَدَّثَنَا هَدَّابُ
بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَبِي عِيسَى
الْأُسْوَارِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنْ الشُّرْبِ قَائِماً.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid; Telah menceritakan kepada
kami Hammam; Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu 'Isa Al Uswari
dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang minum
ketika berdiri. (HR.Muslim 3773).
3.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
حَدَّثَنِي عَبْدُ
الْجَبَّارِ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي الْفَزَارِيَّ
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَمْزَةَ أَخْبَرَنِي أَبُو غَطَفَانَ الْمُرِّيُّ أَنَّهُ
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ.
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku 'Abdul Jabbar bin Al 'Alaa`; Telah menceritakan
kepada kami Marwan yaitu Al Fazari; Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin
Hamzah; Telah mengabarkan kepadaku Abu Ghathafan Al Murri bahwa dia mendengar
Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian minum ketika berdiri,
apabila dia lupa maka muntahkanlah." (diriwayatkan oleh Muslim no. 3775
dan Musnad Ahmad no. 7985).
B.
Hadis
yang membolehkan minum sambil berdiri
1.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ
النَّزَّالِ قَالَ أَتَى عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى بَابِ الرَّحَبَةِ
فَشَرِبَ قَائِمًا فَقَالَ إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ
قَائِمٌ وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ
كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Mis'ar
dari Abdul Malik bin Maisarah dari An Nazal dia berkata; Ali radliallahu pernah
datang dan berdiri di depan pintu Rahbah, lalu dia minum ketika berdiri setelah
itu dia berkata; "Sesungguhnya orang-orang merasa benci bila salah seorang
dari kalian minum ketika berdiri, padahal aku pernah melihat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam melakukannya sebagaimana kalian melihatku saat ini." (diriwayatkan
oleh Bukhori no. 5184 dan 5185, Sunan Abu Dawud no. 3230, Sunan an-Nasa’i no.
130 dan Musnad Ahmad no. 550).
2.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
حَدَّثَنَا
أَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ
الشَّعْبِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Al Jahdari; Telah menceritakan kepada
kami Abu 'Awanah dari Ashim dari Asy Sya'bi dari Ibnu 'Abbas ia berkata;
"Aku memberi minum berupa air zam-zam kepada Rasulullah, lalu beliau minum
sambil berdiri." (diriwayatkan oleh Muslim no. 3776, Shahih Bukhori no.
1528, Sunan Tirmidzi no. 1803, Sunan an-Nasa’i no. 2915, Sunan Ibnu Majah no.
3413 dan Musnad Ahmad no. 1741).
3.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
حَدَّثَنَا
أَبُو السَّائِبِ سَلْمُ بْنُ جُنَادَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ
عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنَّا عَلَى
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَأْكُلُ وَنَحْنُ
نَمْشِي وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abu as-Sa`ib Salm bin Junadah telah menceritakan
kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari 'Ubaidullah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu
Umar dia berkata, "Pada masa Rasulullah saw. kami pernah makan sambil
berjalan dan minum ketika berdiri." (diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3292,
Sunan Tirmidzi no. 1801 dan Musnad Ahmad no. 4373)
4.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Aisyah
اَخْبَرَنَا
إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا بَقِيَّةُ قَالَ حَدَّثَنَا
الزُّبَيْدِيُّ أَنَّ مَكْحُولًا حَدَّثَهُ أَنَّ مَسْرُوقَ بْنَ الْأَجْدَعِ
حَدَّثَهُ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا وَيُصَلِّي حَافِيًا
وَمُنْتَعِلًا وَيَنْصَرِفُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ
Artinya:
Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dia berkata; telah memberitakan
kepada kami Baqiyyah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Az Zubaidi,
telah menceritakan kepadanya Makhul telah menceritakan kepadanya, Masruq bin Al
Azda' dari 'Aisyah dia berkata; "Aku melihat Rasulullah saw. minum ketika
berdiri, atau sambil duduk. Beliau mengerjakan shalat tanpa alas kaki, dan
kadang memakai sandal. Beliau juga beranjak dari sebelah kanannya, atau dari
sebelah kirinya." (diriwayatkan oleh An-Nasa’i no. 1344 dan Musnad Ahmad no.
23428).
Setelah melakukan takhrij dengan hasil tersebut diatas, maka kritik
matan dapat dilakukan dengan dipermudah adanya redaksi lain dari hadis yang
dikaji dan ternyata hadisnya mukhtalif. Kritik matan yang pertama
dilakukan berupa kajian kebahasaan atau linguistik, lalu kajian kontradiktif,
serta kajian historis. Berikut pemaparannya:
a.
Kajian
Kebahasaan
Jika diperhatikan hadis yang membolehkan dan melarang minum ketika
berdiri, semuanya adalah hadis fi’li, kecuali satu hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang larangan minum ketika berdiri yang
diriwayatkan oleh Muslim no. 3775 dan dalam Musnad Ahmad no. 7985. Adanya
hadis fi’li tersebut menyebabkan terdapat banyak redaksi matan
hadis. Meski demikian, seluruh matan hadis yang membolehkan minum ketika
berdiri, di dalamnya selalu terdapat kata شرب dan kata قأما.
Kata شرب menurut
Raghib al-Ashfihani adalah meminum segala benda-benda cair baik itu berupa air
atau yang lainnya.[9]
Dengan demikian kata شرب hanya
dikhususkan untuk menunjukkan aktifitas memasukkan benda-benda cair ke dalam
mulut lalu menelannya. Sedangakan kata قام berarti
lawan kata dari kata duduk. Dengan demikian kata قام menunjukkan
kondisi orang yang sedang tegak kedua kakinya.[10]
Dalam redaksi hadis tentang bolehnya minum ketika berdiri kata قام berkedudukan menjadi khal dengan
menggunakan redaksi isim fa’il yaitu قأما. Dalam ilmu nahwu, khal menunjukkan keterangan
tentang kondisi seseorang, dengan demikian, ini menunjukkan bahwa Rasulullah
memang pernah minum ketika berdiri.
Sedangkan kata kunci dari hadis-hadis yang melarang minum ketika
berdiri adalah kata زجر untuk
menunjukkan larangan, شرب dan kata قأما. Dalam riwayat Muslim no. 3774,
menggunakan kata نهى untuk
menunjukkan larangan. Dalam riwayat muslim no. 3775, hadis yang diriwayatkan
Abu Hurairah yang berbentuk qauli menggunakan redaksi لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا, menggunakan
bentuk fi’il nahi (kata kerja yang menunjukkan larangan) yang
disertai nun taukid tsaqilah yang menguatkan larangannya.
Dengan demikian dalam hadis-hadis yang melarang minum ketika berdiri terdapat
tiga variasi redaksi yang menunjukkan larangan yaitu kata زجر, نهى dan kata لَا يَشْرَبَنَّ.
Kata زجر mempunyai arti nahyu dan man’u yang
berarti melarang dan mencegah. Jika kata zajara digunakan
dalam konteks hewan, maka maknanya bisa mengusir dengan suara yang lantang.[11]
Kata نهى dalam
kamus Lisan al-Arab berarti lawan dari perintah (al-Amr)
dengan demikian kata naha berarti larangan.[12]
Menurut Raghib al-Ashfihani naha berarti zajru ‘an
al-asyya’ (melarang melakukan sesuatu). Dengan demikian kata naha dan
kata zajara adalah sinonim. Sedangkan kata لَا يَشْرَبَنّ menggunakan
bentuk fi’il nahi (kata kerja yang menunjukkan larangan) dan
disertai nun taukid tsaqilah yang menguatkan larangannya. Menurut
ilmu Balagah, kalimat yang menggunakan taukid (penguat) itu
lebih kuat larangannya daripada kalimat yang tidak menggunakan taukid.[13] Dengan
demikian redaksi لَا يَشْرَبَنّ merupakan bentuk redaksi paling kuat dibandingkan dua
redaksi lainnya, sedangkan hadis yang dikaji menggunakan kata naha sebagai
larangan.
b.
Kajian
Kontradiktif
Pemakalah menggunakan metode al-Jam’u wa al-Taufiq, yaitu
mengkompromikan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Sebelum mengkompromikan
hadis-hadis yang tampak bertentangan tersebut, pemakalah akan memaparkan
pendapat-pendapat ulama’ dalam mengkompromikan hadis-hadis tersebut: Pertama, sebagian
ulama’ berpendapat bahwa minum ketika berdiri hukumnya boleh
(mubah). Kedua, sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa hukumnya
makruh.[14]
Ketiga, Sebagian ulama’ berpendapat bahwa adanya hadis tentang bolehnya minum
ketika berdiri menunjukkan bahwa minum ketika berdiri adalah boleh, sedangkan
adanya larangan tentang minum ketika berdiri menunjukkan bahwa hal tersebut
lebih disukai oleh Nabi (mustahab), dan hal tersebut lebih utama dan
sempurna.[15]
Dalam ushul fiqh, ulama’ berbeda pendapat mengenai hakikat
makna nahyu ketika tidak terdapat inidikasi (qarinah)
yang menunjukkan ke-nahyu-annya, apakah bermakna karahah, atau
tahrim. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika tidak terdapat
indikasi (qarinah) dalam nahyu maka ia bermakna karahah atau
makruh. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa, jika tidak terdapat indikasi
(qarinah) dalam nahyu maka ia bermakna al-tahrim atau
haram dan pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat. Dari sini dapat
disimpulakan bahwa nahyu tidak selalu bermakna haram (al-tahrim)
tetapi juga dapat bermakna makruh tergantung indikasi-indikasi (qarinah-qarinah)
yang menunjukkannya. Selain itu haram bisa bergeser
menjadi makruh apabila terdapat indikator-indikator yang menunjukkan
kemakruhannya.[16]
Jika kita
analisis hadis-hadis tentang minum sambil berdiri dengan teori ushul fiqh
tersebut, maka sebenarnya larangan minum ketika berdiri itu tidak murni
terlepas dari indikasi (qarinah) yang menunjukkan
keharamannya, karena masih ada hadis-hadis lain yang memperbolehkannya, hal ini
menunjukkan bahwa larangan minum ketika berdiri tidak bersifat haram secara
mutlak. Selain itu, tidak terdapat implikasi (biasanya berbentuk ancaman, adzab
dan lain-lain) yang disebabkan ketika seseorang minum sambil berdiri. Dari
sini, pemakalah menyimpulkan bahwa larangan minum sambil berdiri hukumnya
adalah makruh dalam artian ketika seseorang minum sambil berdiri ia
tidak mendapatkan dosa atau melanggar syari’at dan ketika seseorang
tersebut tidak mengerjakannya ia akan mendapatkan pahala, dengan demikian minum
sambil duduk hukumnya adalah nadb atau disukai oleh Nabi.
c.
Kajian
Historis
Pada umumnya, analisa historis dilakukan dengan berpusat pada peng-analisa-an asbabul
wurud. Namun tidak selalu setiap teks hadis memiliki asbabul wurud.
Namun para ulama kontemporer, seperti Fazlurrahman memunculkan sebuah teori
baru bahwa asbabul wurud hadis ada yang berbentuk mikro
dan makro. Dalam hal ini dipahami bahwa asbabul wurud mikro
terkadang memang tidak ditemukan, tapi sebaliknya asbabul wurud makro
selalu bisa ditemukan dibalik teks sebuah hadis, dengan cara menganalisis lebih
jauh tentang kehidupan Nabi, sahabat, dan lingkungan masyarakat Arab ketika
itu.
Dalam penelitian penulis sejauh ini belum bisa menemukan
aspek asbabul wurud mikro dari hadis-hadis tentang larangan minum sambil
berdiri. Sedangkan mengenai asbabul wurud makro, pemakalah mencoba
melihat hadis-hadis tersebut dari perspektif etika bangsa Arab. Bahwa
ketika itu masyarakat Arab disimbolkan dengan ke-jahiliyah-an, tidak
mempunyai tata krama, dan wataknya yang keras. Kedatangan Nabi Muhammad saw.
disatu sisi adalah untuk mengubah komunitas masyarakat ini menjadi lebih
beradab dan lebih berakhlak. Rasulullah saw. bersabda :
إنما
بعثت رحمة ولم أبعث عذاباً.
Artinya: Saya hanya diutus sebagai pembawa rahmat, saya tidak
diutus untuk membawa adzab.[17]
Dalam riwayat lainnnya, Abu Hurairah RA meriwayatkan, bahwa Nabi
saw pernah bersabda :
إنما
بُعِثتُ لأتمم صالح الأخلاق.
Artinya: Saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.[18]
Dari sisi
lingkungan geografis, melihat bahwa anjuran Nabi untuk minum sambil duduk tidak
terlepas dari kondisi alam wilayah Arab yang dipenuhi oleh gurun pasir. Dengan
bentangan alam yang tandus ini mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan
persediaan air. Maka sudah sewajarnya mereka akan mempergunakan air yang ada
dengan sebaik-baiknya untuk mencukupi semua kebutuhan. Ketika seseorang minum
sambil duduk, hal ini menggambarkan suatu kondisi ia minum dengan tenang dan
tidak terburu-buru, sehingga air tidak ada yang tertumpah (mubadzir).[19]
Berbeda dengan minum ketika berdiri –terlebih berjalan, atau berlari-- yang
terkesan sebagai sikap tergesa-gesa, sehingga air yang diminum mempunyai
kemungkinan akan mudah tumpah, terbuang percuma. Penulis menduga bahwa pertimbangan
Nabi dari faktor inilah yang menyebabkan adanya hadis tentang larangan minum sambil
berdiri.
Hadis tentang
Nabi pernah minum sambil berdiri tidak dapat dipungkiri adalah hadis yang
shahih, maka sebenarnya hal tersebut dilakukan oleh Nabi dalam keadaan darurat
saja. Saat musim haji tiba, kantong-kantong air (bejana) terbuat dari kulit
hewan diletakkan dengan cara digantung di pintu gerbang Kuffah, sehingga
situasi yang paling memungkinkan saat itu untuk meminumnya adalah dengan posisi
berdiri. Di sisi lain, saat itu suku-suku bangsa di Arab merupakan bangsa nomaden, yaitu seringnya mereka
berpindah-pindah lokasi atau tempat tinggal untuk menggembala ternak-ternak
mereka dan mencari sumber air (oase) maupun sumber makanan bagi ternak-ternak
tersebut.[20]
Dengan kondisi demikian, maka minum sambil berdiri adalah hal yang wajar, hal
ini menunjukkan bahwa Rosul pernah minum sambil berdiri namun bukan suatu yang
menjadi kebiasaan bagi Rosul.
4.
Kontekstualisasi
Hadis
a.
Minum
Sambil Berdiri dalam Perspektif Teori Kedokteran
Dalam konteks minum sambil berdiri, pemakalah menemukan dua
perbedaan pendapat dalam ilmu kedokteran tentang minum sambil berdiri, yaitu
ada yang berpendapat bahwa minum sambil berdiri dapat membahayakan kesehatan
dan ada yang berpendapat bahwa minum sambil berdiri tidak membahayakan
kesehatan.
v Pendapat yang mengatakan membahayakan
Secara medis minum sambil duduk lebih menyehatkan ketimbang sambil
berdiri berdiri. Sebab dalam tubuh manusia terdapat jaringan penyaring (filter)
atau yang lazim disebut sfringer, yaitu suatu struktur maskuler
(berotot) yang bisa membuka dan menutup. Ketika filter dalam posisi tertutup,
air yang dikonsumsi sambil berdiri langsung masuk hingga ke kantong kemih tanpa
proses penyaringan. Akibatnya terjadi pengendapan di saluran ureter.
Selain itu, saat berdiri manusia sebenarnya dalam keadaan tegang, keseimbangan
pusat saraf sedang bekerja keras agar mampu mempertahankan semua otot pada
tubuhnya. Sebaliknya dalam posisi duduk, saraf dalam keadaan tenang.
Dampak buruk lain dari minum sambil berdiri adalah refleksi saraf.
Hal itu diakibatkan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang
banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus, terlebih 95%
penyebab luka pada lambung terjadi di tempat-tempat yang biasa berbenturan
dengan makanan atau minuman yang masuk. Meskipun dampaknya tidak terjadi secara
langsung, sebaiknya ketika makan atau minum dilakukan sambil duduk daripada sambil
berdiri atau bahkan sambil tidur-tiduran.[21]
v Pendapat yang mengatakan tidak membahayakan kesehatan
Menurut ahli Urologi[22],
tidak ada perbedaan ketika orang minum ketika duduk maupun berdiri. Anggapan
bahwa air minum tidak melewati proses penyaringan didasari asumsi bahwa
beberapa katup menuju ginjal menjadi tidak aktif ketika seseorang minum dalam
posisi berdiri. Meski minum sambil duduk memang lebih nyaman, kenyataannya
ketika berdiripun sebenarnya tidak masalah.
Menurut Dr. Ponco Birowo, SpU, Ph.D, ahli Urologi dari RS
Cipto Mangun Kusumo, tidak ada hubungannya dengan sikap minum, mau sambil duduk
atau berdiri air tetap butuh waktu berjam-jam untuk sampai ginjal. Menurutnya,
penyaringan air minum tidak serta merta terjadi begitu saja pada saluran menuju
ginjal. Ketika masuk kerongkongan, minuman apapun terlebih dahulu akan
ditampung lalu mengalami penyerapan di lambung yang prosesnya bisa memakan
waktu berjam-jam.
Terkait anggapan bahwa ada semacam katup atau sfinger yang
menjadi tidak aktif saat berdiri, dibantah oleh Dr. Ponco. Menurutnya, selama
tidak ada gangguan kesehatan pada saluran kemih, sfinger akan
tetap berfungsi baik dalam posisi duduk maupun berdiri. Menurutnya,
fungsi sfinger adalah mengatur keluarnya air kencing, bukan
untuk menyaring air minum yang masuk ke ginjal.
Menurutnya, minum sambil duduk kadang lebih dianjurkan dengan
alasan lebih sopan, namun bukan berarti bisa meningkatkan kesehatan ginjal.
Untuk menjaga kesehatan gijal, yang harus dilakukan adalah banyak minum air
putih agar kotoran-kotoran bisa larut sehingga lebih mudah disaring oleh
ginjal.[23]
Kesimpulannya adalah sebenarnya dalam perspektif ilmu kedokteran
minum ketika berdiri masih menjadi bahan perdebatan. Dengan demikian,
teori-teori kedokteran masih belum bisa menjawab hadis-hadis tentang minum
ketika berdiri yang saling tampak bertentangan tersebut. Pemakalah tidak
mengetahui teori mana yang paling benar karena keterbatasan pemakalah dalam
bidang kedokteran.
b.
Minum
Sambil Berdiri Ditinjau dari Perspektif Etika
Seperti yang telah disampaikan oleh Rosul Saw.
أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا.
Artinya: Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling
baik akhlaknya.[24]
Term kata akhlak, yang mempunyai bentuk jamak al-khuluq
mempunyai arti perangai atau kelakuan, yakni sebagaimana yang diungkapkan oleh
para ulama: "gambaran batin seseorang".[25] Karena
pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran :
1. Gambaran dhahir (luar): Yaitu bentuk
penciptaan yang telah Allah jadikan padanya sebuah tubuh atau fisik manusia.
Dan gambaran dhahir tersebut di antaranya ada yang indah dan bagus, ada
yang jelek dan buruk, dan ada pula yang berada pada pertengahan di antara
keduanya atau biasa-biasa saja.
2. Gambaran batin (dalam): Yaitu suatu keadaan yang
melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatan-perbuatan, baik yang
terpuji maupun yang buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berfikir atau kerja
otak.[26]
Dalam KBBI, kata akhlak diartikan budi pekerti; kelakuan. Dari
pengertian ini pemakalah lebih memilih untuk memakai istilah kata etika, kata
yang mempunyai implikasi makna yang hampir sama dengan akhlak dalam konteks
Indonesia. Karena etika berkaitan dengan norma dan nilai yang baik dan buruk
yang berlaku di sebuah komunitas masyarakat.
Etika yang dijadikan pegangan dalam suatu komunitas masyarakat akan
ditimbang berdasarkan sistem nilai yang berlaku. Nilai-nilai yang baik dan yang
buruk yang telah menjadi kesepakatan bersama secara turun temurun kemudian akan
menjadi barometer bagi setiap anggota komunitas dalam bersikap. Dengan
kapasitasnya sebagai nilai, maka melanggar kesepakatan nilai akan berimplikasi
pada konsekuensi sanksi sosial, yang terkecil adalah pengucilan dan cacian.
Dalam tradisi masyarakat Indonesia, minum ketika berdiri dipandang
sebagai perilaku yang tidak terpuji karena dipandang tidak sopan. Jika hadis
tentang larangan minum sambil berdiri dikontekstualisasikan, maka larangan
hadis sambil berdiri tampaknya lebih relevan dalam konteks tradisi Indonesia,
karena selain lebih dianjurkan oleh Nabi, hal itu merupakan konstruk budaya di
Indonesia yang sudah dipandang sebagai etika dalam masyarakat. Dengan demikian,
sudah sepatutnya untuk mematuhi etika yang berlaku di masyarakat. Misalnya
ketika kita bertamu atau menghadiri hajatan, maka posisi duduk merupakan sebuah
etika yang baik, pertanda kalau seseorang menghargai sang tamu, sehingga
pemilik rumah juga berkenan untuk menghidangkan minuman. Disaat duduk juga
seseorang bisa lebih menikmati minuman atau makanan dengan santai.
Meski pada saat ini, terdapat kasus di masyarakat yaitu fenomena standing
party. Secara sederhana, standing party adalah suatu pesta atau
acara yang terdapat berbagai hidangan yang disajikan, baik makanan maupun
minuman, namun para tamu menikmatinya dengan cara stand atau berdiri, dimana
kursi yang disediakan penyelenggara pesta sangat terbatas, mungkin hanya untuk
keluarga atau kalangan khusus, dan tidak sebanding dengan tamu yang banyak,
sehingga sebagian besar tamu menikmati hidangan sambil berdiri.[27] Standing
party sengaja dilakukan untuk menghemat biaya pengeluaran. Fenomena ini
sekarang menjadi tren, sebenarnya standing party adalah budaya barat
yang kurang cocok diterapkan di Indonesia yang lebih condong pada budaya
ke-timuran.
Contoh lain adalah pada para pembeli dari penjual es atau jajanan
keliling yang tidak menyediakan kursi bagi pembelinya, tapi ini adalah
tergantung dari kebijakan pembeli untuk mencari tempat duduk sebelum menyantap
makanan dan minuman. Lalu bagaimana jika terpaksa? Seperti analisis diatas,
bahwa hukum minum sambil berdiri adalah makruh, maka jika terpaksa harus minum
sambil berdiri maka tidak mendapat dosa, dan akan mendapat pahala jika minum
atau makan sambil duduk.
Selain itu, minum sambil berdiri terkesan ada unsur terburu-buru,
sehingga tingkat ketenangan orang yang minum sambil berdiri tidak sama dengan
ketenangan orang yang minum sambil duduk. Ketika seseorang dalam posisi sangat
haus, kemudian ia langsung minum sambil berdiri, ini menunjukkan
keterburu-buruan atau ketergesa-gesaannya karena posisinya yang sedang haus.
Berbeda dengan orang yang haus kemudian duduk lalu minum, hal ini menunjukkan
tidak terburu-buru, karena seseorang harus duduk terlebih dahulu untuk menenangkan
diri kemudian minun. Nabi juga menjelaskan bahwa keterburu-buruan merupakan
perilaku setan:
الْأَنَاةُ
مِنْ اللَّهِ وَالْعَجَلَةُ مِنْ الشَّيْطَانِ.
Artinya: Sifat hati-hati (waspada) itu dari Allah dan tergesa-gesa
itu godaan dari setan.
C.
Kesimpulan
Hadis tentang
larangan makan dan minum sambil berdiri bersifat mukhtalif, namun dengan metode Jam’u wa Taufiq
serta pendapat jumhur ‘ulama, dapat disimpulkan bahwa larangan makan atau minum
sambil berdiri bersifat makruh dan tidak sampai haram. Dari perspektif
kedokteran juga terdapat perbedaan bahwa minum sambil berdiri sehat atau tidak.
Akan tetapi jika dilihat dari perspektif etika dengan konteks Indonesia, makan
dan minum sambil berdiri adalah hal yang melanggar norma dan etika yang ada,
sehingga akan lebih baik jika makan dan minum dilakukan sambil duduk.
Pentingnya mentaati norma dan etika yang terdapat dalam masyarakat dan anjuran
Rosul Saw menunjukkan akhlak yang baik bagi seorang Muslim.
Hadis yang
melarang minum sambil berdiri merupakan hadis qouli dan hadis yang memboleh
adalah hadis fi’li. Pada hakekatnya, minum sambil berdiri itu dilarang namun
dalam kondisi tertentu menjadi dibolehkan. Nabi Muhammad pernah minum sambil
berdiri namun bukan menjadi kebiasaan beliau minum sambil berdiri.
Daftar Pustaka
Software
Mausu’ah al-Hadis al-Syarif
Software Lidwa Pusaka Sembilan Imam.
Software.
Al-Maktabah al-Syamilah.
Tahdzibul
Kamal dalam Software Jawami’ al-Kalim V.4.5.
www.
Detikhealth.com, diakses pada tanggal 04 Oktober 2016.
A.F.‘Abdul
Hayyi, Hanbal. 1979. Syaradat adz-Dzahab. (mashr: dar alfikr) cet ke-1.
Ahmad,
Sutarmadi. 1998. Al-Imam Al-Tirmidzi, peranannya dalam pengembanganm
Hadits dan Fiqh/ pengantar. (Jakarta : Logos).
Aprilia, M., “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap
Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan” dalam Jurnal Living
Hadis, vol. 1, no. 1, Mei 2016.
[1] Lihat software
lidwa pusaka sembilan imam.
[2] Lih. Tahdzibul
Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
[3] Lih. Tahdzibul
Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
[5] Lih. Tahdzibul
Kamal dalam Jawami’ Kalim V. 4.5.
[7] Sutarmadi Ahmad
, Al-Imam Al-Tirmidzi, peranannya dalam pengembanganm Hadits dan Fiqh/
pengantar, (Jakarta : Logos, 1998), hal.27.
[8] Abu al-Falah ‘Abdul
Hayyi Ibn al-Imam Hanbal, Syaradat
adz-Dzahab, (mashr: dar alfikr, 1979) cet ke-1, jilid 2,hal.174.
[9] Raghib
al-Ashfihani, Mufradat al-Fadz al-Qur’an, hlm. 21,. Al-Maktabah
al-Syamilah.
[10] Ibnu
Mandzur, Lisan al-Arab, juz. 12, hlm. 496, . Al-Maktabah
al-Syamilah.
[12] Ibid., juz.
15, hal 343.
[13] Muhammad Yasin
bin Isa al-Fadani, Husnu al-Shiyagah, (Rembang: Maktabah
al-Barakah, 2008), hal.25.
[14] Ibnu Hajar
al-Atsqalani, Fathu al-Bari, Syarhu Shahih Bukhori, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1379 H), Juz. 10, hal. 82,. Al-Maktabah al-Syamilah.
[16] Abdul Karim
Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah
al-Batsair, ttt), hal.45.
[17] Fakhrudin
al-Razi, Tafsir al-Razi, juz 11, hal 81 dalam . Al-Maktabah
al-Syamilah,
[19] Aprilia
Mardiastuti, “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing
Party pada Pesta Pernikahan” dalam Jurnal Living Hadis, vol. 1, no.
1, Mei 2016, hlm. 168.
[20] Aprilia
Mardiastuti, “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing
Party pada Pesta Pernikahan”, hlm. 168.
[22] Menurut KBBI Urologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang penyakit saluran kemih, dan ahli urologi
disebut Urolog.
[23]
www. Detikhealth.com, diakses pada tanggal 04 Oktober 2016.
[24] HR.
Al-Dharimi, no. 2672
[25] Imam Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin, Akhlakul Karimah. Terj. Abu Musa al-Atsari.
Maktabah Abu Salma, hal. 3.
[26] Ibid.,
[27] Aprilia
Mardiastuti, “Syari’at Makan dan Minum Dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing
Party pada Pesta Pernikahan”, hlm.157
No comments:
Post a Comment