blog ini mengenai berbagai macam tutorial berbisnis di internet dan kata-kata penyejuk hati atau pelajaran-pelajaran dalam SMA atau KULIAH
Sunday, January 7, 2018
Intelektual Muslim yang Terlupakan; Pembaharu-Pembaharu Muslim dalam Islamic Studies
Intelektual Muslim yang Terlupakan; Pembaharu-Pembaharu Muslim
dalam Islamic Studies
Gejolak masyarakat Indonesia tentang ideologi bersimpul agama
seakan tidak ada habisnya menjadi bahan pertikaian dan sebagai alat politik.
Popularitas kepercayaan masyarakat di Indonesia adalah Muslim. Dengan begitu,
Islam seringkali dijadikan kambing hitam dan mendapatkan pandangan negatif,
baik dalam lingkup nasional maupun internasional, karena selalu mengatasnamakan
Islam sebagai dasar atas tidakannya. Stigma buruk yang berkembang di masyarakat
diarahkan pada Islam, sehingga nama baik Islam semakin menurun di mata awam (baca:
non-muslim). Tulisan ini akan membahas sedikit tentang Islam. Menggali dan
mengenalkan tokoh intelektual Muslim yang jarang disinggung oleh masyarakat
bahkan tokoh-tokoh agama dalam dakwahnya. Melalui pemikiran tokoh-tokoh intelektual
Muslim kontemporer dengan pemikiran yang cemerlang namun banyak dilupakan, akan
mengantarkan kita pada pengetahuan lebih luas untuk mengenal Islam. Tentunya
dengan tidak melupakan jasa-jasa ulama klasik.
Setelah renaissance sekitar abad ke 18, adalah titik tolak
beralihnya kemajuan peradaban dari Timur ke Barat. Seringkali disebutkan bahwa
disitulah awal mula abad kegelapan bagi Islam, seakan-akan umat Islam tidak
mengenal ilmu kecuali ilmu tentang hukum Islam secara baku. Stagnasi keilmuan
terjadi dalam Islam, sehingga umat Islam hanya mengenal Islam dari
konsep-konsep ulama klasik yang notabene berbeda sosio-kulturnya, konteks waktu
dan tempat, serta problem yang dihadapinya. Runtuhnya masa keemasan Islam
itulah yang membangkitkan intelektual-intelektual Muslim dalam perkembangan
khazanah keilmuan Islam. Banyak sekali intelektual Muslim kontemporer dengan
gagasan-gagasan baru dan solusi-solusi yang disampaikan. Namun hanya beberapa
yang dikenal masyarakat seperti Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridho’, Amin al-Khulli,
dsb. itupun beberapa dari mereka dianggap sebagai tokoh liberal dan menyimpang
dari Islam. Upaya pembudayaaan mengenal tokoh-tokoh Muslim baik yang klasik
maupun kontemporer inilah yang penulis rasa perlu digencarkan kepada khalayak
Muslim Indonesia, agar masyarakat semakin dewasa dalam menghadapi permasalahan
ideologi di Indonesia.
Perkembangan keilmuan dalam Islam memiliki kemajuan yang
signifikan. Seperti dikatakan oleh Hassan Hanafi seorang intelektual Muslim
bahwa dalam memahami dasar hukum Islam -dalam hal ini Al-Qur’an dan Sunnah-
haruslah bersifat Solutif dan Transformatif. Inilah yang menjadi identitas dan
fokus kajian bagi intelektual Muslim, karena al-Qur’an adalah sholih li
kulli zaman wa makan maka haruslah dapat menjawab segala macam problem
sosial. Peran aktif dari intelek Muslim menjadi sangat penting, melihat Problem
sosial yang semakin kompleks. Bagaimana seorang intelek Muslim dapat mengemas
sebuah solusi secara praktis sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat Muslim
secara luas di semua lapisan.
Sedikit kita akan mengenal para intelektual muslim yang berpengaruh
dalam reformasi arus keilmuan Islam, yang mampu mengurai stagnasi dalam
khazanah keilmuan Islam. (1) Muhammad ‘Abduh (1849-1905), karya terkenalnya
adalah kitab tafsir al-Manar. Ia berasal dari Mesir, ia adalah tokoh yang
memperkenalkan metode penafsiran adabi ijtima’i, yaitu sebuah metode
tafsir yang cenderung pada masalah sosial-kemasyarakatan. Muhammad ‘Adduh
mencoba untuk menggali teks al-Qur’an yang sebelumnya dipahami secara kaku dan
cenderung membahas hubungan manusia dengan Tuhan (teologis). Ia menyebarkan
gagasan dan pemahamannya terhadap al-Qur’an melalui media koran bernama mu’ayyad,
yang kemudian laris di kalangan masyarakat karena dianggap mampu menjawab
problem sosial.[1]
Penafsiran Muhammad ‘Abduh menuai beragam komentar dari kalangan muslim, namun
sebagian besar dari mereka menganggap bahwa memahami al-Qur’an sebagai solusi
masalah sosial, adalah suatu yang wajib untuk dilakukan sehingga al-Qur’an
dapat berperan sebagai kitab Allah yang Sholih likulli zaman wa makan.
(2) Hassan Hanafi (1935-1991) berasal dari Kairo, Mesir. Ia adalah
pencetus tafsir ‘realis’ yaitu memahami al-Qur’an secara realistis. Terjalinnya
dialektika antara teks terhadap realitas, serta realitas terhadap teks. Jalinan
ini yang bisa dipegang untuk memahami Islam beserta hukum-hukum Islam secara
kontekstual dan al-Qur’an sebagai sumber utama solusi untuk setiap kasus yang
terjadi.[2]
Metode yang ia gunakan adalah maudhu’i atau tematik, karena dengan
metode tematik dianggap lebih efisien untuk menjawab problem sosial.[3]
(3) Thantawi Jauhari (1870-1940), ia berasal dari Mesir dan salah satu murid
Muhammad ‘Abduh. Karyanya yang masyhur adalah kitab tafsir Jawahir fi Tafsir
al-Qur’an. Ciri khas dari kitab tafsirnya adalah ia cenderung menekuni
tafsir dalam bidang ilmu pengetahuan seperti biologi, fisika, ilmu alam, ilmu
hitung, antropologi, dan sebagainya. Ia merasa dari dahulu, ulama klasik dalam
mendekati al-Qur’an hanya terfokus pada bidang fiqih saja sehingga lupa bahwa
terdapat banyak aspek dalam al-Qur’an yang bisa digali contonya dari segi ilmu
pengetahuan.[4]
(4) Nasr Hamid Abu Zayd (1943-2010), ia berasal dari Mesir. Ia
merupakan sosok yang fenomenal dikalangan akademisi khususnya bidang filsafat
dan tafsir. Pemikirannya yang sangat fenomenal sekaligus kontroversial adalah
pemikirannya tentang al-Qur’an, bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Dengan
pernyataannya yang seperti itu, membuat ia dianggap sebagai liberal dan
diputuskan oleh lembaga keagamaan Mesir bahwa ia telah keluar dari Islam yang
membuatnya pindah ke Leiden pada tahun 1955. Al-Qur’an sebagai produk budaya
yang dimaksud oleh Nasr Hamid tidak semata-mata hanya seperti itu, melainkan
bahwa al-Qur’an tidak lain adalah turun dengan bahasa dan konteks yang ada pada
saat itu. Al-Qur’an adalah produk budaya, disisi lain, budaya saat itu dibentuk
oleh al-Qur’an. Dialektika antara Al-Qur’an dan budaya inilah secara mudah yang
berusaha dikatakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd.[5]
(5) Jasser Auda lahir tahun 1966 dan
merupakan salah satu intelektual Muslim yang masih hidup sampai saat
ini. Ia merupakan intelek muslim yang produktif. Ia berasal dari Mesir,
pemikirannya yang terkenal adalah tentang konsep Maqashid Syari’ah terhadap
hukum Islam. Menurutnya pemahaman ulama klasik tentang hukum Islam banyak yang
tidak memperhatikan aspek sosial dan kurang mendalam. Ia merekonstruksi Kosep Maqashid Syari’ah dan mengembangkannya
dalam bentuk yang lebih luas dan mendalam.
Diatas adalah beberapa intelek Muslim yang terlupakan atau bahkan
belum dikenal sama sekali oleh masyarakat Islam. Padahal masing-masing memiliki
peran yang penting dalam perkembangan khazanah keilmuan Islam. Diatas hanyalah
intelek yang berasal dari Mesir, dan masih banyak lagi yang lainnya. Para
pembaharu Muslim rata-rata mereka berangkat dari persoalan konsep wahyu, bahwa
konsep wahyu yang telah ada musti dikaji ulang. Mayoritas intelek pembaharu
Muslim Mengatakan bahwa wahyu, tidak lain berdialektika dengan konteks
sosialnya.
Daftar Pustaka
Hasan Hanafi.. 2003. Ismalogi I: dari Teologi Statis ke
Anarkis, terj. Miftah Faqih. Jogjakarta: LkiS.
M. Nur Ikhwan. 2004. Tafsir ‘Ilmi Memahami Al-Qur’an Melalui
Pendekatan Sains. Yogyakarta: Menara Kudus Jogja.
Nasr Hamid Abu Zayd. 1993.Tekstualitas al-Qur’an: Kritik
Terhadap ‘Ulumul Qur’an. Yogyakarta: LkiS.
J.J.G Jansen. 1980. The Interpretation of the Koran in Modern
Egypt. Leiden: E. J. Brill.
Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin, dkk. 2002. Studi al-Qur’an
Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, ed. Abdul Mustaqim,
Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Rencana Terbit:
1.
Basabasi.co
2.
Mojok.co
3.
Qureta.com
[1] J.J.G Jansen, The
Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E. J. Brill, 1980),
hal. 20.
[2] Abdul
Mustaqim, Sahiron Syamsudin, dkk, Studi al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru
Berbagai Metodologi Tafsir, ed. Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 102
[3] Hasan Hanafi,
Ismalogi I: dari Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih (Jogjakarta:
LkiS, 2003), hal. 8-9.
[4] M. Nur Ikhwan,
Tafsir ‘Ilmi Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains, (Yogyakarta:
Menara Kudus Jogja, 2004), hal. 127.
[5] Nasr Hamid Abu
Zayd, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap ‘Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
LkiS, 1993), hal. 374-375.
Subscribe to:
Posts (Atom)