Rumahsinggah
blog ini mengenai berbagai macam tutorial berbisnis di internet dan kata-kata penyejuk hati atau pelajaran-pelajaran dalam SMA atau KULIAH
Sunday, January 7, 2018
Intelektual Muslim yang Terlupakan; Pembaharu-Pembaharu Muslim dalam Islamic Studies
Intelektual Muslim yang Terlupakan; Pembaharu-Pembaharu Muslim
dalam Islamic Studies
Gejolak masyarakat Indonesia tentang ideologi bersimpul agama
seakan tidak ada habisnya menjadi bahan pertikaian dan sebagai alat politik.
Popularitas kepercayaan masyarakat di Indonesia adalah Muslim. Dengan begitu,
Islam seringkali dijadikan kambing hitam dan mendapatkan pandangan negatif,
baik dalam lingkup nasional maupun internasional, karena selalu mengatasnamakan
Islam sebagai dasar atas tidakannya. Stigma buruk yang berkembang di masyarakat
diarahkan pada Islam, sehingga nama baik Islam semakin menurun di mata awam (baca:
non-muslim). Tulisan ini akan membahas sedikit tentang Islam. Menggali dan
mengenalkan tokoh intelektual Muslim yang jarang disinggung oleh masyarakat
bahkan tokoh-tokoh agama dalam dakwahnya. Melalui pemikiran tokoh-tokoh intelektual
Muslim kontemporer dengan pemikiran yang cemerlang namun banyak dilupakan, akan
mengantarkan kita pada pengetahuan lebih luas untuk mengenal Islam. Tentunya
dengan tidak melupakan jasa-jasa ulama klasik.
Setelah renaissance sekitar abad ke 18, adalah titik tolak
beralihnya kemajuan peradaban dari Timur ke Barat. Seringkali disebutkan bahwa
disitulah awal mula abad kegelapan bagi Islam, seakan-akan umat Islam tidak
mengenal ilmu kecuali ilmu tentang hukum Islam secara baku. Stagnasi keilmuan
terjadi dalam Islam, sehingga umat Islam hanya mengenal Islam dari
konsep-konsep ulama klasik yang notabene berbeda sosio-kulturnya, konteks waktu
dan tempat, serta problem yang dihadapinya. Runtuhnya masa keemasan Islam
itulah yang membangkitkan intelektual-intelektual Muslim dalam perkembangan
khazanah keilmuan Islam. Banyak sekali intelektual Muslim kontemporer dengan
gagasan-gagasan baru dan solusi-solusi yang disampaikan. Namun hanya beberapa
yang dikenal masyarakat seperti Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridho’, Amin al-Khulli,
dsb. itupun beberapa dari mereka dianggap sebagai tokoh liberal dan menyimpang
dari Islam. Upaya pembudayaaan mengenal tokoh-tokoh Muslim baik yang klasik
maupun kontemporer inilah yang penulis rasa perlu digencarkan kepada khalayak
Muslim Indonesia, agar masyarakat semakin dewasa dalam menghadapi permasalahan
ideologi di Indonesia.
Perkembangan keilmuan dalam Islam memiliki kemajuan yang
signifikan. Seperti dikatakan oleh Hassan Hanafi seorang intelektual Muslim
bahwa dalam memahami dasar hukum Islam -dalam hal ini Al-Qur’an dan Sunnah-
haruslah bersifat Solutif dan Transformatif. Inilah yang menjadi identitas dan
fokus kajian bagi intelektual Muslim, karena al-Qur’an adalah sholih li
kulli zaman wa makan maka haruslah dapat menjawab segala macam problem
sosial. Peran aktif dari intelek Muslim menjadi sangat penting, melihat Problem
sosial yang semakin kompleks. Bagaimana seorang intelek Muslim dapat mengemas
sebuah solusi secara praktis sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat Muslim
secara luas di semua lapisan.
Sedikit kita akan mengenal para intelektual muslim yang berpengaruh
dalam reformasi arus keilmuan Islam, yang mampu mengurai stagnasi dalam
khazanah keilmuan Islam. (1) Muhammad ‘Abduh (1849-1905), karya terkenalnya
adalah kitab tafsir al-Manar. Ia berasal dari Mesir, ia adalah tokoh yang
memperkenalkan metode penafsiran adabi ijtima’i, yaitu sebuah metode
tafsir yang cenderung pada masalah sosial-kemasyarakatan. Muhammad ‘Adduh
mencoba untuk menggali teks al-Qur’an yang sebelumnya dipahami secara kaku dan
cenderung membahas hubungan manusia dengan Tuhan (teologis). Ia menyebarkan
gagasan dan pemahamannya terhadap al-Qur’an melalui media koran bernama mu’ayyad,
yang kemudian laris di kalangan masyarakat karena dianggap mampu menjawab
problem sosial.[1]
Penafsiran Muhammad ‘Abduh menuai beragam komentar dari kalangan muslim, namun
sebagian besar dari mereka menganggap bahwa memahami al-Qur’an sebagai solusi
masalah sosial, adalah suatu yang wajib untuk dilakukan sehingga al-Qur’an
dapat berperan sebagai kitab Allah yang Sholih likulli zaman wa makan.
(2) Hassan Hanafi (1935-1991) berasal dari Kairo, Mesir. Ia adalah
pencetus tafsir ‘realis’ yaitu memahami al-Qur’an secara realistis. Terjalinnya
dialektika antara teks terhadap realitas, serta realitas terhadap teks. Jalinan
ini yang bisa dipegang untuk memahami Islam beserta hukum-hukum Islam secara
kontekstual dan al-Qur’an sebagai sumber utama solusi untuk setiap kasus yang
terjadi.[2]
Metode yang ia gunakan adalah maudhu’i atau tematik, karena dengan
metode tematik dianggap lebih efisien untuk menjawab problem sosial.[3]
(3) Thantawi Jauhari (1870-1940), ia berasal dari Mesir dan salah satu murid
Muhammad ‘Abduh. Karyanya yang masyhur adalah kitab tafsir Jawahir fi Tafsir
al-Qur’an. Ciri khas dari kitab tafsirnya adalah ia cenderung menekuni
tafsir dalam bidang ilmu pengetahuan seperti biologi, fisika, ilmu alam, ilmu
hitung, antropologi, dan sebagainya. Ia merasa dari dahulu, ulama klasik dalam
mendekati al-Qur’an hanya terfokus pada bidang fiqih saja sehingga lupa bahwa
terdapat banyak aspek dalam al-Qur’an yang bisa digali contonya dari segi ilmu
pengetahuan.[4]
(4) Nasr Hamid Abu Zayd (1943-2010), ia berasal dari Mesir. Ia
merupakan sosok yang fenomenal dikalangan akademisi khususnya bidang filsafat
dan tafsir. Pemikirannya yang sangat fenomenal sekaligus kontroversial adalah
pemikirannya tentang al-Qur’an, bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Dengan
pernyataannya yang seperti itu, membuat ia dianggap sebagai liberal dan
diputuskan oleh lembaga keagamaan Mesir bahwa ia telah keluar dari Islam yang
membuatnya pindah ke Leiden pada tahun 1955. Al-Qur’an sebagai produk budaya
yang dimaksud oleh Nasr Hamid tidak semata-mata hanya seperti itu, melainkan
bahwa al-Qur’an tidak lain adalah turun dengan bahasa dan konteks yang ada pada
saat itu. Al-Qur’an adalah produk budaya, disisi lain, budaya saat itu dibentuk
oleh al-Qur’an. Dialektika antara Al-Qur’an dan budaya inilah secara mudah yang
berusaha dikatakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd.[5]
(5) Jasser Auda lahir tahun 1966 dan
merupakan salah satu intelektual Muslim yang masih hidup sampai saat
ini. Ia merupakan intelek muslim yang produktif. Ia berasal dari Mesir,
pemikirannya yang terkenal adalah tentang konsep Maqashid Syari’ah terhadap
hukum Islam. Menurutnya pemahaman ulama klasik tentang hukum Islam banyak yang
tidak memperhatikan aspek sosial dan kurang mendalam. Ia merekonstruksi Kosep Maqashid Syari’ah dan mengembangkannya
dalam bentuk yang lebih luas dan mendalam.
Diatas adalah beberapa intelek Muslim yang terlupakan atau bahkan
belum dikenal sama sekali oleh masyarakat Islam. Padahal masing-masing memiliki
peran yang penting dalam perkembangan khazanah keilmuan Islam. Diatas hanyalah
intelek yang berasal dari Mesir, dan masih banyak lagi yang lainnya. Para
pembaharu Muslim rata-rata mereka berangkat dari persoalan konsep wahyu, bahwa
konsep wahyu yang telah ada musti dikaji ulang. Mayoritas intelek pembaharu
Muslim Mengatakan bahwa wahyu, tidak lain berdialektika dengan konteks
sosialnya.
Daftar Pustaka
Hasan Hanafi.. 2003. Ismalogi I: dari Teologi Statis ke
Anarkis, terj. Miftah Faqih. Jogjakarta: LkiS.
M. Nur Ikhwan. 2004. Tafsir ‘Ilmi Memahami Al-Qur’an Melalui
Pendekatan Sains. Yogyakarta: Menara Kudus Jogja.
Nasr Hamid Abu Zayd. 1993.Tekstualitas al-Qur’an: Kritik
Terhadap ‘Ulumul Qur’an. Yogyakarta: LkiS.
J.J.G Jansen. 1980. The Interpretation of the Koran in Modern
Egypt. Leiden: E. J. Brill.
Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin, dkk. 2002. Studi al-Qur’an
Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, ed. Abdul Mustaqim,
Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Rencana Terbit:
1.
Basabasi.co
2.
Mojok.co
3.
Qureta.com
[1] J.J.G Jansen, The
Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E. J. Brill, 1980),
hal. 20.
[2] Abdul
Mustaqim, Sahiron Syamsudin, dkk, Studi al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru
Berbagai Metodologi Tafsir, ed. Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 102
[3] Hasan Hanafi,
Ismalogi I: dari Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih (Jogjakarta:
LkiS, 2003), hal. 8-9.
[4] M. Nur Ikhwan,
Tafsir ‘Ilmi Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains, (Yogyakarta:
Menara Kudus Jogja, 2004), hal. 127.
[5] Nasr Hamid Abu
Zayd, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap ‘Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
LkiS, 1993), hal. 374-375.
Sunday, December 3, 2017
makalah tafsir falsafi
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Dinamika sejarah Al-Qur’an diwarnai dengan ciri khas berbagai
periode tertentu, seperti dalam periode pertengahan yang bercabang menjadi
corak-corak tafsir. Corak merupakan objek formal yang tidak dapat dipisah dari
kajian tafsir dan tujuan mufasir. Seorang mufasir pasti mempunyai kecenderungan
tertentu dalam membukukan tafsir. Terlepas dari kelebihan kekurangan disiplin
ilmu yang diambil, tafsir pasti mempunyai tujuan dan signifikansi bagi pembaca.
Jika tidak, kita akan kebingungan menguji keabsahannya dan sulit untuk mencapai
gagasan ide yang ingin dicapai.
Salah satu corak
era pertengahan adalah Tafsir Falsafi. Filsafat saat itu berkembang pesat
dibawah kejayaan dinasti-dinasti Islam dan tentu saja sedikit banyak dari
pengaruh pemikiran barat. Terlepas dari perdebatan penerimaan filsafat dalam
agama, filsafat memberikan kontribusi penting dalam sejarah tafsir Al-Qur’an.
Namun kebanyakan filosof jarang yang membukukan Tafsir Al-Qur’an secara
lengkap. Hanya saja, mereka mendasarkan teori filsafatnya dengan kandungan ayat
Al-Qur’an.
Maka dari itu,
pembahasan tentang tafsir falsafi ini dirasa penting untuk didalami. Mengingat
begitu banyak filosof muslim yang mengeluarkan teori filsafat dan diperkuat
dengan ayat Al-Qur’an.
BAB II
ISI
Ada beberapa pengertian
yang di ungkapkan para ulama dalam mendefinisikan tafsir falsafi, antara lain:
1.
tafsir falsafi
adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan
filsafat.[1]
2. menafsirkan
ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti
tafsir bi al-Ra`yi.[2]
3. Seperti
halnya Adz-Dzahabi, Dr. Abdul Mustaqim dalam bukunya Dinamika Sejarah Tafsir
Al-Quran menjelaskan bahwa Tafsir Falsafi adalah upaya penafsiran
Al-Quran yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. sebagai
konsekuensinya, tafsir falsafi banyak didominasi oleh teori-teori filsafat
sebagai paradigmanya dan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran menggunakan
teori-teori filsafat. dalam hal ini ayat-Al-Quran lebih berfungsi sebagai
justifikasi pemikiran filsafat, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat
Al-Quran.[3]
Pendekatan yang
digunakan dalam tafsir falsafi adalah penggunaan akal yang lebih dominan
sehingga ayat-ayat yang ada dipahami dengan rasio mufasir sendiri. Menanggapi
hal ini umat Islam terbagi menjadi dua kelompok; kelompok Pertama, mereka yang
menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof. Mereka
menolaknya karena menganggap bahwa antara filsafat dan agama adalah dua bidang
ilmu yang saling bertentangan sehingga tidak mungkin disatukan.
Kelompok Kedua,
mereka yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerima filsafat selama
tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan filsafat
dan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.[4]
Latar belakang
munculnya tafsir corak falsafi, jika kita melihat secara sosio-historis seperti
yang dijelaskan dalam buku Madzahibut Tafsir karya Abdul Mustaqim dijelaskan
bahwa awal mula tafsir ini dimulai saat pemikiran filosofis masuk kedalam islam
melalui filsafat yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir islam di suria,
mesopotamia, persia, dan mesir. Kebudayaan dan falsafat yunani datang ke
daerah-daerah itu dengan ekspansi alexander yang agung ke timur di abad ke 4
sebelum kristus. Politik alexander untuk menyatukan kebudayaan yunani dan
persia meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan
kemudian timbulah pusat-pusat kebudayaan yunani di timur, seperti alexandria di
mesir, antioch di suria, jundisyapur di mesopotamia, dan basra di persia.[5]
Hal ini adalah awal mula yang menjadi sebab timbulnya tafsir corak falsafi.
Setelah penerjemahan buku filsafat
dari barat, umat Muslim menjadi dimudahkan untuk mempelajari filsafat yang
kemudian diadopsi kedalam Islam sebagai teori-teori yang kemudian meminta
legitimasi menggunakan al-Qur’an. Terdapat reaksi-reaksi dari kaum Muslimin
atas tanggapan masuknya filsafat kedalam Islam. Pertama, respon yang sangat
antusias di kalangan para filosof, sebab mereka ingin melakukan al-tawfiq
(mengkompromi antara filsafat dan agama) bahwa keduanya tidak saling
bertentangan. Kedua, sikap yang gembira, yaitu oleh para kaum teolog
(mutakallimun). Mereka menggunakan metode-metode filsafat untuk ilmu kalam yang
berguna mempertahankan akidah dari serangan musuh yang menggunakan metode dari
filsafat yunani. Ketiga, sikap yang sangat kritis, yaitu dari ahli fikih
(fuqaha) dan ahli bahasa (lughawiyyun) yang tidak suka dengan kedatangan
filsafat yunani ini. Mereka menolak teori-teori filsafat tertentu lantaran
mereka melihat teori-teori ini bertentangan dengan keyakinan teologis mereka.
Mereka umumnya membatasi kebenaran hanya dalam interpretasi fikih dan teologis.
Sementara para kaum sufi, cenderung bersikap tenang tidak terlalu reaktif, tapi
diam-diam mereka ternyata juga terpengaruh dengan filsafat yang kemudian
melahirkan corak sufi-falsafi.[6]
Karakter dari corak tafsir falsafi
adalah penggunaan ilmu filsafat sebagai penafsiran Al-Qur’an. Cara yang
ditempuh adalah dengan mena’wil teks-teks agama dan hakikat hukumnya yang sesuai
dengan pandangan-pandangan filsosofi. Selain itu juga menggunakan metode
pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan
pandangan-pandangan filosof.[7]
Di dalam corak tafsir ini, berbagai
aliran filsafat menjadi variabel penting di dalam menafsirkan al-Quran.
Pengertian filsafat tidak hanya membahas tentang metode berfirkir saja,
melainkan lebih dari itu filsafat telah menjadi disiplin ilmu yang membicarakan
persoalan hubungan manusia dengan Tuhan dan keberadaan Tuhan.
Ranah nuansa tafisiran filsafat adalah
mengungkap pandangan al-Quran secara komprehensif tentang keyakinan dan sistem
teologi. Namun, proses yang dilakukan bukan dalam rangka pemihakan terhadap
madzhab tertentu, yang sudah terbangun mapan dalam sejarah, tetapi lebih pada upaya
menggali secara serius bagaimana al-Quran berbicara dalam soal-soal teologis
itu dengan melacak tema-tema pokok, serta konteks-konteks di mana terma itu
dipakai al-Quran. Pendekatan yang digunakan dalam tafsir falsafi adalah
penggunaan akal yang mendominasi sehingga ayat-ayat yang ada dipahami secara
akal sang mufassir.
Muhammad Husain al-Dzahabi menyebutkan bahwa sebenarnya tidak ditemukan
adanya ahli filsafat muslim yang menulis tafsir Al-Qur’an secara lengkap. Yang
ada hanyalah pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh mereka yang menafsirkan
Al-Qur’an secara terpisah dan dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan
mereka. Di antara kitab tafsir yang ditulis berdasakan corak falsafi ini, yaitu
dari golongan pertama yang menolak tafsir falsafat adalah:
1. Mafatih
Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
2. Al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar al-Dzahabi tidak pernah
mendengar bahwa diantara filosof mengarang kitab tafsir al-Qur’an secara
lengkap, kerana sejauh ini tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadap
al-Qur’an secara parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka tulis.[8] Penulisan secara parsial tafsir falsafi antara lain :
1.
Fushush al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H)
2.
Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)
Kami akan membahas lebih rinci mengenai kitab tafsir bercorak falsafi dari
tokoh yang menolak filsafat yaitu Fakhr al-Din al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib. Setelah itu kami akan
mencantumkan beberapa tokoh tafsir falsafi dan pemikiran mereka berkaitan
dengan filsafat.
· Fakhr al-Din
al-Razi dan karyanya (Mafatih al-Ghaib)
a.
Metode
dan Corak Penafsiran Tafsir Mafātīh al-Ghaib
Tafsir ini ditulis oleh Fakhruddin ar-Razi sebagai tanggapan terhadap
tafsir ideologi karangan Zamakhsyari (Kitab Tafsir al-Kasysyaf).
Dimana Fakhruddin ar-Razi yang beraliran Asy’ariyah berusaha mempertahankan
alirannya (mazhab Syafi’i) dan mencari-cari jalan untuk membenarkannya.
Tafsir ar-Razi termasuk dalam metode Tahlili. Adapun metode
Imam ar-Razi dalam tafsirnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Imam ar-Razi telah mencurahkan perhatian untuk menerangkan
hubungan-hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya dan hubungan satu surat
dengan satu surat yang mengikutinya. Adakalanya beliau tidak mengemukakan satu
hubungan saja, melainkan lebih dari satu hubungan.
2) Imam ar-Razi berbicara panjang lebar dalam menyajikan argumentasi. Sebagian
pembicaraan itu menjadikan kitabnya tak berbeda dengan kitab filsafat,
matematika dan ilmu eksak, sampai-sampai Ibn ‘Atiyah berkata dalam kitab Imam
ar-Razi, “segalanya ada kecuali tafsir itu sendiri.” Namun sesungguhnya,
sekalipun Imam ar-Razi banyak berbicara tentang masalah-masalah ilmu kalam dan
tinjauan-tinjauan alam semesta, beliau berbicara tentang tafsir al-Quran.
3) Beliau terkadang suka melantur dalam membahas
masalah-masalah ushul fiqh dan masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu
nahwu dan balaghah. Hanya saja beliau tidak berlebih-lebihan dalam hal-hal
tersbut seperti yang beliau lakukan dalam masalah-masalah eksakta dan ilmu-ilmu
kealaman.[10]
Tafsir Mafātīh al-Ghaib atau yang
dikenal sebagai Tafsir al-Kabir dikategorikan sebagai tafsir bi
al-ra’y, yaitu tafsir yang dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya
berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang didasarkan oleh ra’y semata.[11] Dengan pendekatan Mazhab Syafi’iyyah dan
Asy’ariyah.
·
Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad al-Farabi dan Pemikirannya
Al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab
(Transoxania) di tahun 870 M. menurut keterangan dia berasal dari Turki dan
orang tuanya adalah seorang Jenderal, ia sendiri pernah menjadi hakim. Dari
Farab, ia kemudian pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan di waktu itu.
Disana ia belajar kepada Bishr Matta Ibnu Yunus (seorang penterjemah) dan
tinggal di Baghdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di
istana Saif Al-Daulah berkonsentrasi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat
diwaktu itu. Dalam umur 80 tahun Al-Farabi wafat di Aleppo pada tahun 950 M.[12]
Mengenai pemikirannya, dia menafsirkan al-Qur’an dengan filsafat murni,
suatu pemahaman bahwa hakikat al-Qur’an sebagai simbol – simbol dan
isyarat – isyarat yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang dan
tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang nalarnya terbatas. Oleh karena itu
menurutnya, nabi menjelaskan dengan gaya bahasa yang sesuai dengan daya tangkap
mereka, yaitu dengan gaya bahasa inderawi demi kemaslahatan mereka meskipun
tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya, dan itu menurut para filsuf tidak
dianggap sebagai suatu kebohongan.[13]
Artinya adalah bahwa semua ayat -
ayat al-Qur’an menurut para filsuf harus di tafsir atau di takwil sesuai dengan
filsafat, sehingga mereka menetapkan bahwa alam akhirat adalah bersifat aqli dan rohani, bukan
jasmaniah. Atas dasar itulah mereka menolak konsep pemikiran yang
menyatakan adanya kebangkitan jasmani, mengingkari kelezatan jasmani di surga
dan penderitaan jasmani di neraka, sebagaimana yang dideskripsikan al-Qur’an
dan as-Sunah.[14]
Diantara penafsiran yang dilakukan oleh al-Farabi
adalah penafsiran kata al-zhahir dan kata al-bathin pada
Q.S. Al-Hadid ayat 3:
uqèd ãA¨rF{$# ãÅzFy$#ur ãÎg»©à9$#ur ß`ÏÛ$t7ø9$#ur ( uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ ÇÌÈ
"Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang
Bathin dan dia Maha mengetahui segala sesuatu".
Penafsiran al-Farabi terhadap
ayat ini bercorak platonik yakni argumen Plato tentang kekekalan alam. Oleh
karena itu al-Farabi menafsirkan ke-Permulaan Allah dari segi bahwa segala yang ada dan
mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah berasal dari-Nya. Allah adalah
yang pertama dari segi ada-Nya. Ia yang pertama dari setiap waktu yang
keberadaannya bergantung pada-Nya, telah ada waktu ketika tidak ada sesuatu selain
diri-Nya.
·
Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina
dan Pemikirannya
Ibnu Sina lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di Bukhara tahun 980
M. Orang tuanya adalah sorang pegawai negeri atau pegawai pemerintahan pada
pemerintahan Dinasti samani. Menurut sejarah hidup yang ditulis oleh muridnya –
Jurjani – dari semenjak kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu – ilmu
pengetahuan yang ada di zamannya, seperti fisika, matematika, kedokteran, hukum
dan termasuk juga ilmu tafsir al-Qur’an. Dia meninggal di Isfahan, pada tahun
1037 M.
Contoh tafsir yang dilakukan Ibnu Sina adalah penafsiran al-jannah (surga)
sebagai alam akal, an-nar (neraka) sebagai alam imajinasi, dan
alam konkretnya adalah alam kubur. Sedangkan kata ash-shirath diartikan
sebagai jalan akal. Berikut adalah contoh penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu
Sina, dalam menafsirkan surat an-Nur ayat 35 :
* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4
ã@sWtB ¾ÍnÍqçR ;o4qs3ô±ÏJx. $pkÏù îy$t6óÁÏB (
ßy$t6óÁÏJø9$# Îû >py_%y`ã (
èpy_%y`9$# $pk¨Xr(x. Ò=x.öqx. AÍhß ßs%qã `ÏB ;otyfx© 7p2t»t6B 7ptRqçG÷y w 7p§Ï%÷° wur 7p¨Î/óxî ß%s3t $pkçJ÷y âäûÓÅÓã öqs9ur óOs9 çmó¡|¡ôJs? Ö$tR 4
îqR 4n?tã 9qçR 3
Ïöku ª!$# ¾ÍnÍqãZÏ9 `tB âä!$t±o 4
ÛUÎôØour ª!$# @»sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 3
ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇÌÎÈ
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada Pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak
pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.”
Ibnu Sina mengatakan bahwa Nur mempunyai makna ganda,
denotatif dan konotatif. Makna denotatifnya adalah penerangan yang sempurna,
sedangkan makna konotatifnya adalah kebaikan dan faktor penyampai kepada
kebaikan. Makna yang dimaksudkan disini adalah kedua-duanya, yakni bahwa alloh
SWT adalah dzat yang maha baik dan penyebab dari semua kebaikan. Ungkapan as-samawati
wal-ardhi merupakan ungkapan dari universalitas. Kata misykat (lentera)
merupakan ungkapan dari akal material (al-aqlul-huyuli) dan
jiwa yang berakal. Karena misykat itu dekat dengan dinding,
maka daya pantulnya lebih kuat dan cahayanya lebih banyak. Demikian juga dengan
akal, sebenarnya menyerupai cahaya (nur).
Yang dilambangkan dengan misykat (lentera) adalah akal
material yang kaitannya dengan akal mustafad (acquired
intelect) adalah bagaikan kaitan misykat dengan cahaya.
Sementara mishbah (lampu) sebenarnya merupakan ungkapan dari
akal mustafad itu sendiri. Hubungan akal mustafad dengan akal material adalah seperti hubungan misbah dengan misykat.
Adapun kata fi zujajah (kaca), ditafsirkan bahwa hubungan
antara akal material dan akal mustafad pada sisi lain adalah
seperti hubungan yang terjadi antara penerang dan mishbah. Hubungan
ini tidak dapat dicapai kecuali dengan perantara sumbu. Dari sumbu itu
muncul az-zujajah karena dia adalah penerang yang menerima
cahaya.[15]
·
Al-Kindi
bin Ishaqi dan Pemikirannya
Al- Kindi bin Ishaq atau
nama legkapnya Al-Kindi bin Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi ialah
ilmuan dan filosof besar Islam yang hidup pada masa kekhalifahaan Bani
Abbasiyah. Ia lahir pada 809 M dan wafat pada 873M. Ia masih keturunan suku
Kindah, sebuah suku besar di Arab Selatan pada masa sebelum Islam.
Al-Kindi hidup selama
pemerintahan Bani Abbasyiah, yaitu Al-Amin (809-813M),
Al-Ma’mun (813-833M), Al-Mu’tasim (833-842M), Al-Watsiq (842-847M), dan Al-Mutawakil (847-851M). Selama kurun waktu itu,
Al-Kindi banyak melahirkan karya dibidang filsafat, matematika (geometri),
agama, asrtonomi, logika dan kedokteran.
Berkenaan dengan
teori filsafat, menurut al-Kindi Tuhan berada di luar segala yang dapat diserap
panca indera dan akal pikiran. Satu-satunya sifat yang paling tepat bagi Tuhan
adalah Dia itu Esa, Tunggal, sifat inilah yang membedakan antara ciptaan dan
penciptanya. Al-Kindi mengemukakan teori ini berdasar logika mantiq. Menurutnya
Tuhan disebut al haq al awwal
(kebenaran pertama). Kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang ada di dalam
akal dan di luar akal. Menurutnya di alam ini benda-benda memiliki bagian
(juz’i) yang disebut ainiyah, dan
hakikat kulli yang disebut mahiyah.
Tuhan tidak termasuk keduanya karena bukan termasuk jenis atau spesies.[16]
Perbedaan pendekatan
dan metodologi dalam membaca al-Qur’an akan menghasilkan penafsiran yang
berbeda. Seorang mufassir yang menggunakan pendekatan sosiologis akan memiliki
hasil yang berbeda dengan mufassir yang menggunakan pendekatan semantik
(linguistik). Begitu juga perbedaan madzhab,
baik kalam ataupun fiqh, juga dapat mempengaruhi hasil
penafsiran. Sebuah madzhab tidak ada bedanya dengan sebuah metodologi, hal ini
disebabkan setiap madzhab memiliki batasan teori terhadap suatu hal tertentu.
Semisal Mu’tazilah yang menganggap bahwa keesaan Allah menghalangi-Nya untuk
memiliki sifat. Beda halnya dengan Sunni yang meyakini bahwa Allah memiliki
sifat-sifat yang sempurna.[17]
Bergitu juga dengan
permasalahan melihat Allah kelak di akhirat. kaum mu’tazilah menganggap bahwa
melihat Allah merupakan suatu hal yang mustahil. Disisi yang lain, aliran Sunni
berpendapat bahwa melihat (ru’yatullah) itu adalah mungkin. Perbedaan ajaran
ini berimplikaasi terhadap perbedaan penafsiran dua aliran tersebut terhadap
surat al-Qiyamah: 23
4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
Menurut
al-Razi, sebagai perwakilan Sunni, kalimat di atas menunjukkan taqdim
al-maf’ul yang bermakna khusus. Sehingga dia menafsiri bahwa di
akhirat kelak, umat muslim akan melihat kepada dzat Allah.[18]
Sedangkan menurut Zamakhsyari, seorang Mu’tazili, kalimat itu bukanlah taqdim
al-maf’ul, melainkan adanya pen-takdiran terhadap kata ni’mat.
Begitu juga dengan penjelasan kata “Nadzirah” menurut al-Razi kata itu
berarti “ru’yah”, sedangkan menurut Zamakhsyari berarti “al-Raja”.[19]
Begitu
juga dengan surat al-Taubah ayat 123 ;
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏG»s% úïÏ%©!$# Nä3tRqè=t ÆÏiB Í$¤ÿà6ø9$# (#rßÉfuø9ur öNä3Ïù Zpsàù=Ïñ 4
(#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# yìtB úüÉ)GßJø9$# ÇÊËÌÈ
Ayat
ini merupakan perintah untuk memerangi orang kafir yang paling dekat dengan
kaum muslimin. kaum kafir pada ayat ini merujuk pada bani Quraidzah, Nadzir,
ataupun kaum arab hijazy. Pendapat ini disepakati oleh zamakhsyari dan al-Razi.
Sedangkan Ibn Arabi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “orang kafir
yang dekat dengan kamu” adalah teman dalam diri manusia yang selalu
mendampinginya yang tidak lain adalah hawa nafsu. Hawa nafsu sendiri adalah
musuh utama dan paling besar sebagaimana yang telah dijelaskan Rasulullah.
Dari perbedaan penafsiran yang terjadi karena perbedaan madzhab ini
tentunya semakin menambah warna dari perkembangan penafsiran. Hal yang perlu di
ingat adalah perbedaan-perbedaan penafsiran dari para filosof ini membuat
tegang para pengikutnya. Mereka bersikukuh dengan pendapat dari masing-masing
pendapat dari Imam mereka. Keberpihakan para pengikutnya ini membuat mereka
menjadi fanatik terhadap pendapat dari salah satu madzhab dan seolah-olah
mengingkari pendapat dari luar madzhab mereka. Tetapi sikap seperti ini hanya
ada oleh para pengikut madzhab, sedangkan para filosof mereka lebih terbuka
dalam menerima perbedaan pendapat.
v Contoh tafsir ibn Rusyd
Jika
alam ini baru dan yang mengadakan adalah Allah maka pertanyaan yang muncul,
bagaimana membuktikan bahwa Allah itu esa. Dalam hal ini rupanya Ibnu Rusyd
menggunakan argumen teologis yang biasa dipakai oleh kaum teolog, yaitu Surat
al-Anbiya’, ayat 22;
öqs9 tb%x. !$yJÍkÏù îpolÎ;#uä wÎ) ª!$# $s?y|¡xÿs9 4
z`»ysö6Ý¡sù «!$# Éb>u ĸöyèø9$# $£Jtã tbqàÿÅÁt ÇËËÈ
“Sekiranya ada di
langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak
binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka
sifatkan.”
Sebagaimana
halnya para teolog di sini ibn Rusyd menjelaskan ayat tersebut dengan al-Qiyas
‘ala al-gho’ib bi asy-Syahid yaitu meng-analogikan yang ghaib dengan
yang nyata.
Kata Ibnu Rusyd: “Sudah menjadi hal yang maklum bahwa berkumpulnya
dua penguasa di satu negeri menyebabkan rusaknya negeri tersebut”. Demikian
pula jika di alam ini ada dua tuhan bahkan lebih niscaya alam ini akan rusak,
namun kenyataan membuktikan bahwa alam ini tetap berjalan baik dan teratur,
berarti Allah itu Esa. Ibnu Rusyd kemudian memperkuat logika tersebut dengan
ayat lain yaitu: “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan
sekali-kali tidak ada tuhan yang lain besertanya, kalau ada Tuhan
besertanya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang
diciptakannya dan sebagian dari tuhantuhan itu akan mengalahkan sebagian
yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.” (Q.S:
al-Mukminun: 9).
v Contoh dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, karya Ar-Razi.
Dalam
menafsirkan QS. Ad-Dukhon [44]: 17 ;
*
ôs)s9ur $¨ZtFsù óOßgn=ö6s% tPöqs% cöqtãöÏù öNèduä!%y`ur ×Aqßu îLqÌ2 ÇÊÐÈ
“Sesungguhnya
sebelum mereka telah Kami uji kaum Fir'aun dan telah datang kepada mereka
seorang Rasul yang mulia.”
Ar-Razi
menyatakan bahwa fitnah disini maksudnya adalah Allah bertindak seperti
tindakan orang penguji dengan mengutus seorang Rosul kepada kaumnya. Terlihat
dalam tafsirannya dengan jelas bagaimana ia menjelaskan kata fitnah yang
digabungkan (muttasil) dengan kata ganti “kami” untuk Allah yang
mengagungkan Dzat-Nya dan dlomir itu mengisyaratkan adanya keterlibatan Allah
dalam menguji Fir’aun dan kaumnya.
BAB III
PENUTUP
Tafsir falsafi berati pernafsiran al-Qur’an dengan menggunakan
perserktif falsafah, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori
filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi
sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori
filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan
dengan menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan
persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori
filsafat.
Adapun awal berkembangnya tafsir falsafah ini, bermula pada saat
ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam
berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing
ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara
buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti
Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba
memahami Al-Qur’an dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode
falsafi
al-Dzahabi, M. Husein. 1995. Kitâb al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn. Juz III. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Dzahabi, M. Husein. 1995. Kitâb al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Razi, Fahruddin . Mafatih al-Ghaib, Maktabah al-Syamilah.
Juz 16.
al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an.
Anwar, Rosihan.
2008. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’anul Karim li
Ibni al-Katsir. Beirut: Maktabah al-Aulad as-Syaikh li At-Turats.
Mustaqim, Abdul. 2014. Dinamika
sejarah tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press
Praja, Juhaya S. 2000. Tafsir
Hikmah. Bandung : PT Remaja Rosda Karya
Syihab, Quraisy, dkk. 1999. Sejarah dan Ulum Al Qur’an.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zamakhsyari. al-Kasyaaf, Maktabah al-Syamilah. Juz 7.
[1] Quraisy Syihab
dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
hlm. 182.
[2] Muhammad
Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995), Jilid I, hlm. 419.
[3] Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran, (Yogyakarta: Adab
Press, 2014) hlm. 131-132
[4]
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia,
2008) hal. 169-170
[5] Abdul Mustaqim,
Dinamika sejarah tafsir al-Qur’an,
(yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm. 132-133.
[7] Juhaya S.
Praja, Tafsir Hikmah,
(Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2000) hal. 15
[8] Muhammad Husein al-Dzhabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikri, 1995), Juz III, hlm. 90.
[9] Al-Majlis al-A’la li al-Syuuni al-Islamiyah, al-Mausuah
al-Qur’aniyah al-Mutakhossisah, (Kairo: Wazir al-Auqaf, 2003), hlm.
285-286.
[12]
Adz-Dzahabi, tafsir wal mufassirun. Hal: 421
[14] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Karim li Ibni
al-Katsir (Beirut: Maktabah al-Aulad as-Syaikh li At-Turats), hlm. 115
[16] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an,
(Yogyakarta:Adab Press, 2014). Hal.135-136
[17] Lihat Prof.
KHM Taib Thahir, Ilmu Kalam, Yogyakarta, hlm. 104
[18] Fahruddin
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah al-Syamilah, Juz 16 hlm. 198
[19]
Zamakhsyari, al-Kasyaaf, Maktabah al-Syamilah, Juz 7, hlm. 190
Subscribe to:
Posts (Atom)